SISTEM PERADILAN PIDANA
TERADU MENURUT KUHAP
TUGAS
DI SUSUN OLEH:
DADANG DJOKO
KARYANTO
NIM. B20011086
PROGRAM PASCA
SARJANA
MAGISTER ILMU
HUKUM
UNIVERSITAS
JAMBI
2013
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Penegakan hukum yang ideal harus bisa memenuhi tiga
nilai dasar darihukum yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan.Baik dalamtataran teoretis maupun praktis, ketiga nilai dasar
tersebut tidak mudah untukdiwujudkan secara serasi. Pemenuhan nilai kepastian
hukum, terkadang harusmengorbankan nilai keadilan dan kemanfaatan, demikian
pula pemenuhan nilaikeadilan dan kemanfaatan di satu sisi, pada sisi yang lain
akan bisa berakibat padadikorbankannya nilai kepastian hukum.
Dalam literatur, penegakan hukum pidana melalui
pendekatan sistemdikenal dengan istilah sistem peradilan pidana. Secara umum
sistem peradilanpidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa
lembaga penegakhukum melalui sebuah mekanisme yang meliputi kegiatan bertahap
yang dimulaidari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan
pelaksanaanputusan hakim yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan.
Proses tersebut bekerja secara berurutan artinya
tahap yang satu tidakboleh melompati tahap lainnya. Keseluruhan proses itu
bekerja di dalam suatusistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan
subsistem yang salingberhubungan dan pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang
lain. Dalam
sistem
peradilan pidana tersebut bekerja komponen-komponen fungsi yangmasing-masing
harus berhubungan dan bekerja sarna. Sebagaimana dikatakanoleh Alan Coffey
berkaitan dengan hal ini yaitu bahwa:
"Criminal
justice can function systematically only to the degrees that each segment af
the system takes into account all other segments. In order words, the system is
no more systematic than the relationships between police and prosecution, Police
and Court Prosecution and Corrections, Corrections and law, and so forth. In
the absence of'functional relationships between segments, the criminal justice
system is vulnerable to fragmentation and ineffectiveness[1]”.
Jadi adanya fragmentasi dalam arti masing-masing
fungsi bekerja sendiri-sendiridan tidak memperhatikan antar hubungan diantara
sub-subsistem yang ada harusdicegah bilamana akan dibangun suatu sistem
peradilan pidana yang efektif.Dalam hubungan ini perlu diperhatikan konsep
"Integrated Approach”,
dariHiroshi Ishikawa yang antara lain menegaskan bahwa komponen-komponenfungsi
itu walaupun fungsinya berbeda-beda dan berdiri sendiri-sendiri (diversity) tetapi harus mempunyai suatu
tujuan dan persepsi yang sama sehingga merupakansuatu kekuatan yang utuh (unity), yang saling mengikat,Hiroshi
Ishikawa dalam hal ini menyatakan bahwa:
"Criminal
justice.agencies including, the police, prosecution, judiciary instutution should
be compared with a chain of gears, and each
of them should be precise and tenacious in maintaining good combination
with each other[2]”.
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali
diperkenalkan oleh pakar hukumpidana dan para ahli dalam "criminal justice science" di
Amerika Serikat seiringdengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur
penegak hukum daninstitusi penegakan hukum yang didasarkan pada pendekatan
hukum danketertiban yang sangat menggantungkan keberhasilan penanggulangan
kejahatan
pada
efektivitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian. Dalam hubungan ini pihak
kepolisian ternyata menghadapi berbagai kendala, baik yang bersifatoperasional
maupun prosedur legal dan kemudian kendala ini tidak memberikanhasil yang
optimal daram upaya menekan kenaikan angka kriminalitas, bahkantedadi
sebaliknya.
Frank Remington adarah orang pertama di Amerika
Serikat yangmemperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui
pendekatan sistem (system approach)
dan gagasan mengenani sistem ini terdapat dalam laporan Pilot Proyek Tahun 1958.
Gagasan ini kemudian dilekatkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana
dan diberi nama “criminal JusticeSystem”.
Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh The President's Crime Commision[3].
Diagram skematik “criminal Justice system”, telah disusun
oleh “The commision's Task force on
science and Technology” di bawah pimpinan ArfredBlumstein sebagai ahli
manajemen, Blumstein menerapkan pendekatan manajerial dengan bertopang pada
pendekatan sistem terhadap mekanismeadministrasi peradilan pidana sejak saat
itu dalarn penanggulangan kejahatan diAmerika Serikat diperkenalkan dan
dikembangkan pendekatan sistem sebagaipengganti pendekatan hukum dan ketertiban.
Melalui pendekatan sistem inikepolisian, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan
tidak lagi merupakan instansiyang berdiri sendiri melainkan masing-masing
merupakan unsur berkaitan erat satu sama lain[4].
Sistem peradilan pidana yang terpadu atau yang
dikenal dengan istilah integrated
criminal justice system memerlukan berbagai persyaratan untuk
mewujudkannya. Mengacu pada unsur-unsur sistem, maka keterpaduan dalamsistem
peradilan pidana memerlukan sinkronisasi baik yang menyangkut struktur,
substansi maupun kultur.
B.
Perumusan Masalah.
Berdasarkan uraian diatas maka, maka persoalan pokok
yang akan diteliti:
"bagaimana
sistem peradilan terpadu sebagaimana yang diatur dalam KUHAP”.
II. BEBERAPA MODEL
PERADILAN PIDANA
A.
Crime Control Model dan Due Process Model
Dalam literatur dikenal beberapa model peradilan
pidana. Menurut HerbertL. Packer di Arnerika serikat berkembang beberapa model
dalam rangkapeni,elenggaraan peradilan pidana. Perlu dijelaskan di sini bahwa
penggunaanmodel di sini bukanlah sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam
suatu sistemyang dianut oleh suatu Negara,akan tetapi merupakan suatu sistem
nilai yangdibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan pidana di
berbagai Negara. Berdasarkan pengamatannya dikatakan bahwa dalam
penyelenggaraanperadilan pidana di Amerika Serikat dikenal dua model dalam
proses pemeriksaan
perkara
pidana (two models of the criminal
process) yaitu Due process Model dan
Crime Control Model.
Kedua model di atas, dilandasi olehAdversary Model (Model perlawanan)yang
memiliki ciri-ciri :
a) Prosedur
peradilan harus merupakan suatu disputes
atau combating proceedingantara
terdakwa dan penuntut umum dalam kedudukan yang sama di muka pengadilan;
b) Judge as umpire
dengan konsekuensi bahwa hakim tidak ikut ambil bagiandalam
"pertempuran" (Flight) dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Ia hanya
berfungsi sebagai wasit yang meryaga agar permainan tidak dilanggar, baik oleh
terdakwa maupun oleh penuntut umum;
c) Tujuan
utama prosedur peradilan pidana adalah menyelesaikan sengketa yangtimbul
disebabkan terjadinya kejahatan;
d) Para
pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas. Peranan penuntut
umum adalah melakukan penuntutan, peranan terdakwa adalah menolak atau
menyanggah dakwaan. Penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang
akan dibuktikan disertai bukti yang menunjang fakta tersebut. Terdakwa bertugas
menentukan fakta-fakta mana saja yang akandiajukan di persidangan yang akan
dapat menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai penunjang
fakta tersebut.
Pada crime
control modeldidasarkan pada anggapan bahwapenyelenggaraan peradilan pidana
adalah semata-mata untuk rnenindas perilaku kriminal (criminalconduct), dan ini merupakan tujuan utama proses
peradilan.karena yang diutamakan adarah ketertiban umum (publicorder) dan efisiensi.(Ansorie Sabuan dkk. 1990 : 6 ). Proses kriminal
pada dasarnya merupakan suatuperjuangan atau bahkan semacam perang antara dua
kepentingan yang tidak dapatdipertemukan kembali yaitu kepentingan negara dan
kepentingan individu(terdakwa). Di sini berlakulah apa yang disebut sebagai ”presumptionofguilt” (praduga bersalah)
dan "sarana cepat" dalam pemberantasan kejahatan demiefisiensi. Daram
praktek model ini mengandung kelemahan yaitu seringnya terjadi
pelanggaran
hak asasi manusia demi efisiensi.
Akibat seringnya terjadi peranggaran hak asasi
manusia maka munculahmodel yang kedua yang disebut Due process Model.Di daram Due
processModel ini muncul nilai-nilai baru yang sebelumnya kurang
diperhatikan yaitukonsep perlindungan hak-hak individual dan pembatasan
kekuasaan dalampenyelengaraan peradilan pidana. Proses kriminal harus dapat
dikendalikanuntuk dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter
dalam rangka mencapai maksimum efisiensi. Di dalam model ini berlaku asas yang
sangatpenting yaitu asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent).
Kedua model yang diperkenalkan oleh Packer di atas,
didasarkan padapemikiran mengenai hubungan antara negara dan individu dalam
proses criminal yang menempatkan pelaku tindak pidana sebagai musuh masyarakat
(enemy of the society), sedangkan
tuiuan utama dari pemidanaan adalah mengasingkanpelaku tindak pidana dari
rnasyarakat (exile function of punishment).Menurut
John Grifflths kedua model tersebut secara filosofis berlandaskan pada model peperangan
(Battle Model) serta pertentangan
antara negala dengan individu yang tidak dapat dipertemukan kembali (irreconciliable disharmony of interest)sehingga
jika terjadi kejahatan, maka terhadap si pelaku harus segela diprosesdengan
menempatkannya sebagai obyek di dalam sistem peradilan pidana.
B.Family Model
Sebagai reaksi terhadap kedua model yang diajukan
oleh packer di atas,kemudian Griffiths memperkenalkan model yang ketiga yang
oleh Griffithsdisebut sebagai Family
Model (model kekeluargaan).Menurut Family
Model initidak ada pertentangan yang tidak dapat diselaraskan.Filsafat yang
mendasarimodel ini adalah kasih sayang sesama hidup atas dasar kepentingan yang
saling menguntungkan (mutually supportive
and state of love).
Dikatakan oleh Griffiths bahwa setiap kehidupan
dalam masyarakathendaknya selalu dilandasi oleh kasih sayang yang berlanjut
sebagairnana yangada dalam keluarga kecil. Di dalam keluarga misalnya bila
terjadi kenakalan yangdilakukan oleh seorang anak, kita tidak boleh menyebut si
anak tersebut adalahjahat.Sanksi pidana dalam hal ini tidak berfungsi untuli
mengasingkan, tetapiuntuk pengembalian kapasitas pengendalian diri (capacity for self control).
Salah satu negara yang clisebut-sebut menganut familyModel ini adalahnegeri Belanda.Hal
ini dibukikan dengan kurang ditonjolkannya pidanaperampasan kemerdekaan, tetapi
yang lebih dipentingkan adalah sarana non institusional. Bukti lain yang
dikemukakan di sini adalah bahwa di negeri Belandatelah berkembang secara luas
lembaga pelayanan sosial, yang tidak hanyamemberikan bantuan finansial tetapi
juga yang bersifat non finansial,berkembangnya pusat-pusat kegiatan remaja yang
dibina secara baik oleh pemerintah dan swasta banyaknya pekerja sosial yang
terlibat di dalam lembagasosial, masmedia yang mendukung secara positif model
kekeluargaan tersebut danmemberitakan secara selektif segala sesuatu yang
berhubungan denganpenyelenggaraan peradilan pidana.
C.
Integrated Criminal Justice Sistem
Di samping ketiga model sistem peradilan pidana yang
telah diuraikan diatas, dalam perkembangannya saat ini terdapat berbagai usaha
untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai sistem peradilan pidana terpadu
atauintegrated criminal justice system.
Model terpadu dalam penyelenggaraanperadilan pidana dapat dikaji dalam sistem
peradilan pidana di Jepang yang memiliki karakteristik: Pertama adanya sistem
pendidikan yang memadai daripara penegak hukum yang memungkinkan mereka
memiliki pandangan yangsama dalam melaksanakan tugasnya. seleksi untuk meryadi
hakim jaksa, danpengacara dalam penyelenggaraan peradilan pidana dilaksanakan
oleh organisasipengacara di Jepang dan setelah mereka lulus, kemudian masuk
dalam pendidikanyang sama yang dikoordinasikan oleh Mahkamah Agung Jepang;
Kedua,parapenegak hukum profesional yang dicapai melalui pelatihan yang baik
dengandisiplin yang tinggi, serta terorganisir dengan baik; Ketiga,tujuan yang
ingindicapai adalah apa yang disebut sebagai "precise justice”, atau keadilan yang pas(tepat). Konsep "precise justice" ini tampaknya
merupakan kitik orang Jepangterhadap model peradilan pidana di Arnerika serikat
yang menurut mereka hanyamengejar apa yang disebut sebagai layman justice (keadilan orang-orang awam);Keempat, adanya partisipasi
masyarakat yang tinggi akibat tingkat profesionalisasiyang dimiliki oleh aparat
penegak hukum di Jepang.
III. KUHAP SEBAGAI
INTEGRATED MODEL
Dalam hukum acara pidana ( hukum pidana formil )
sebagaimanatercantum dalam uu No. 8 Tahun 1991 tentang Hukum Acara pidana telahdicoba
diletakkan kerangka landasan untuk melalisanakan peradilan pidanaterpadu. Hal
ini tampak dalam pengaturan hal-har sebagai berikut:
A.
Hubungan Penyidik POLRI Dengan penyidik pegawai Negeri Sipil(PPNS).
1. PPNS
dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinator danpengawasan Penyidik
POLRI ( pasal 1 ayat 2);
Untuk kepentingan panyidikan, penyidik memberikan
petunjuk kepadaPPNS dan rnemberikan bantuan penyidikan yang diperlukan ( pasal
107ayat I );
2. PPNS
melaporkan tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidikPOLRI ( Pasal 107
ayat 2);
3. PPNS
menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada penuntutumum melalui
penyidik POLRI ( pasal 107 ayat 3 );
4. Dalam
hal PPNS menghentikan penyidikan, segera memberitahukanpenyidik POLRI dan
Penuntut Umum ( pasal 109 ayat 3 ).
B.
Hubungan Penyidik POLRI Dengan penuntut Umum
1. Penyidik
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umunl ( pasal 8,Pasal 14 huruf a,
Pasal 110 ayat 1 );
2. Penuntut
umum memberikan perpanjangan penahanan atas permintaanpenyidik ( Pasal 14 huruf
c, Pasal 24 ayat 2);
3. Dalam
hal Penuntut umum berpendapat hasil penyidikan belum lengkap, iasegera
mengembalikan kepada penyidik disertai petunjuknya dan penyidikwajib
melengkapinya dengan melakukan pemeriksaan tambahan ( pasal 14hurufb, Pasal 110
ayat 2 dan ayat 3 );
4. Dalam
hal penyidik mulai melakukan penyidikan/pemeriksaan,memberitahukan hal itu
kepada Penuntut umum ( pasal 109 ayat I );
5. Dalam
hal penyidik menghentikan penyidikan, memberitahukan hal itukepada Penuntut
umum ( Pasal 109 ayat 2 ), sebaliknya dalam hal penuntutumum menghentikan
penuntutan, ia memberikan Surat Ketetapan kepadaPenyidik ( Pasal 140 ayat 2
huruf c );
6. Penuntut Umum memberikan turunan surat
pelimpahan perkara suratdakwaan kepada penyidik ( pasal 143 ayat 4 ), demikian
pula dalam halPenuntut umum mengubah surat dakwaan ia memberikan tumuanperubahan
surat dakwaan itu kepada penyidik ( pasal 144 ayat 3).
7. Dalam
acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa penuntut umum (demihukum),
melimpahkan berkas perkara dan menghadapkan terdakwa saksi/ahli, juru bahasa
dan barang bukti pada sidang pengadilan (pasal 205 ayat 2).Konsekuensi dari hal
di atas, penyidik memberitahukan hari sidang kepada terdakwa (pasal 207 ayat I)
dan menyampaikan amar putusankepada terpidana (pasal 214 ayat3).
C.
Hubungan penyidik dan Hakim/pengadilan.
1. Ketua
Pengadilan Negeri dengan keputusannya memberikan perpanjanganpenahanan
sebagaimana dimaksud pasal 29 atas permintaan penyidik;
2. Atas
permintaan penyidi(Ketua pengadilan Negeri menolak ataumemberikan surat izin penggeledahan
rumah atau penyitaan dan/atau suratizin khusus pemeriksaan surat (pasal 33 ayat
1, pasar 38 ayat I);
3. Penyidik
wajib segera melapor kepada Ketua pengadilan Negeri ataspelaksanaan
penggeredahan rumah atau penyitaan yang dilakukan dalamkeadaan yang sangat
perlu dan mendesak sebagaimana dimalisud pasal 34ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2,
4. Penyidik
memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan telahdisampaikan
kepada terpidana (pasal 214 ayat3);
5. Panitera
memberitahukan kepada penyidik tentang adanya pelawanan dariterdakwa ( Pasal
214 ayat 7).
D. Hubungan
Antara pengadilan dan Jaksa Di satu pihak dan LembagaPemasyarakatan di Lain
pihak.
Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 36
undang-undang Kekuasaan kehakiman No. 4 Tahun 2004 yang mengatur tentang
pengawasan peraksanaanPutusan Pengadilan undang-undang Kekuasaan Kehakiman
pasal 36:
Ayat (1): Pelaksanaan putusan
pengadilan daiam perkara pidana dilakukan olehjaksa.
Ayat (2): Pengawasan pelaksanaan
putusan pengadilan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dilakukan oleh ketua
pengadilan yang bersangkutanberdasarkan undang-undang.
Ayat (3): pelaksanan putusan
pengadilan dalam perkara perdata dilakukan olehpanitera dan juru sita dipimpin
oleh ketua pengadilan.
Ayat(4): putusan pengadilan
dilaksanakan dengan memperhatikan nilaikemanusiaan dan keadilan.
Undang-undang yang dimaksud oleh pasal 36 ayar (2)
di atas adalahundang-undang no. 9tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana
yangpengaturannya terdapat di dalam Bab XX, pasal 277-283. Ketentuanselengkapnya
adalah sebagai berikut:
Pasal
277:
Ayat (l) : Padasetiap pengadilan
harus adahakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan
dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
Ayat (2): Hakim sebagaimana dimaksud
dalam ayat (l) yang disebut hakim pengawas dan pengamat ditunjuk oleh ketua
pengadilan untuk paling lama dua tahun.
Pasal 278:Jaksa mengirimkan
tembusan berita acara pelaksaraan putusanpengadilan yang ditandatangani
olehnya, kepala lembagapemasyarakatan, dan terpidana kepada pengadilan yang
memutusperkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalamregister
pengawasan dan pengamatan.
Pasal 279:Register pengawasan dan
pengamatan sebagaimana tersebut padapasal 278 wajib dikerjakan, ditutup dan
ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani
juga olehhakim sebagaimana dimaksud dalam pasal277.
Pasal 280:
Ayat (1): Hakim pengawas dan
pengamat mengadakan pengawasan gunamemperoleh kepastian bahwa putusan
pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ayat (2): Hakim pengawas dan
pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang
bermanfaat bagi pemidanaan,yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pemidanaan
lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbat balik terhadap narapidana selama
menjalani pidananya.
Ayat (3): Pengamatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tetapdilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani
pidananya.
Ayat (4) : Pengawasan dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal277 berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat.
Pasal 281: Atas permintaan hakim pengawas
dan pengamat, kepala lembagapemasyarakatan menyampaikan informasi secara
berkala atau sewaktu-waktutentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam
pengamatan hakim tersebut.
Pasal 282: Jika dipandang perlu
demi pendayagunaan pengamatan, hakimpengawas dan pengamat dapat membicarakan
dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana
tertentu.
Pasal 283 : Hasil pengawasan dan
pengamatan dlaporkan oleh hariim pengawasdan pengamat kepada ketua pengadilan
negeri secara berkala.
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah agar supaya
terdapat jaminan,bahwa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan dilaksanakan
semestinya.Disamping itu untuk lebih mendekatkan pengadilan tidak saja dengan
lembagakejaksaan tetapi juga dengan pemasyarakatan. Pengawasan tersebut
menempatkanpemasyarakatan dalam rangkaian proses pidana dan menetapkan tugas hakimtidak
berakhir pada saat putusan dilatuhkan olehnya.
Di samping itu untuk memenuhi penyelenggaraan
peradilan yangterpadu, oleh Mahkamah Agung pernah dikeluarkan SEMA No. 10 Tahun
1983tentang Penetapan Perpanjangan Penahanan jangan sampai terlambat
diserahkankepada Penuntut Umum. Dalam SEMA dikatakan, bahwa mengingat
seringterjadinya penetapan perpanjangan penahanan yang dikeluarkan oleh
pengadilan, dimana salinannya sering terlambat sampai di tangan penuntut umum
(yangmeminta permohonan perpanjangan penahanan), sehingga ketika maudilaksanakan
oleh Penuntut umum ternyata terdakwanya sudah dikeluarkan olehkepala Lembaga
Pemasyarakatan demi hukum. Untuk tidak mengulangi hal itu,maka ditentukanlah
bahwa paling lambat 10 hari sebelum habisnya masapenahanan pengadilan negeri
harus sudah mengeluarkan penetapanperpanjangannya dan pada hari itu juga (hari
penandatanganan surat penetapanitu) salinan surat tersebut sudah harus
disampaikan kepada penuntut Umum dengan surat pengantar yang tembusannya
disampaikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dimana tempat terdakwa
ditahan.
Menurut Romli Atmasasmita, KUHAP memiliki 10
(sepuluh) asas sebagai berikut:
1. perlakuan
yang sama di muka hukum;
2. praduga
tidak bersalah;
3. hak
untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi:
4. hak
untuk memperoleh bantuan hukum;
5. hak
kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6. peradilan
yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7. peradilan
yang terbuka untuk umum;
8. pelanggaran
atas hak-hak warganegara (penangkapan- penahanan,dilakukan penggeledahan dan penyitaan)
harus dilakukan berdasarkanundang-undang dan dengan surat perintah (tertulis);
9. hak
tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaanterhadapnya;
10. kewajiban
pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya[5].
Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat dikatakan
bahwaKUHAP menganut "due process of
law" (proses hukum yang adil atau layak)Suatu proses hukum yang adil
pada intinya adalah hak seorang tersangka danterdakwa untuk didengar
pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan ituterjadi dalam pemeriksaan
terhadapnya dia berhak didampingi oleh penasihathukum; diapun berhak mengajukan
pembelaan, dan penuntut umum harusmembuktikan kesalahannya di muka suatu
pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak berpihak[6].
Menurut Mardjono Reksodiputro, "desain prosedur” (proceduraldesign) sistem peradilan pidana yang ditata meralui KUHAP
terbagi dalam tigatahap, yaitu tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap praadjudikasi
(pre-adjudication), tahap sidang
pengadilan atau tahap adjudikasi (adjudication),
dantahap setelah pengadilan atau puma adjudikasi (post-adjudication). Beliaumendukung pandangan bahwa tahap
adjudikasi atau tahap sidang pengadilanharus dianggap dominan dalam seluruh
proses. Pandangan ini berdasarkan padaKUHAP yang menyatakan bahwa setiap putusan
apapun bentuknya harus didasarkan pada fakta dan keadaan serta alat pembuktian
yang diperoleh dari pemeriksan di sidang, sehingga suatu sistem peradilan
pidana yang jujur danmelindungi hak seorang warga negara yang merupakan
terdakwa, akan paling jelas terungkapkan dalam tahap adjudikasi. Hanya dalam
tahap adjudikasi inilahterdakwa dan pembelanya dapat berdiri tegak sebagai
pihak yang benar-benar bersamaan derajatnya berhadapan dengan penunfut umum[7].
Pandangan di atas tidak sepenuhnya disetujui oleh Rornli
Atmasasmita,dengan alasan bahwa sekalipun memang benar bahwa pada tahap ini
dari suduthukum masing-masing pemeran utama ( penasihat hukum/terdakwa dan
penuntutumum) memiliki kedudukan yang sederajat, akan tetapi pada tahap ini
dilihat darisudut kriminologi clan viktimologi proses stigmatisasi dan
viktimisasi strukturalsudah berjalan, bahkan sejak tahap penangkapan dan
penahanan[8].
Sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang
mampu menjagakeseimbangan perlindungan kepentingan baik kepentingan negara
kepentinganmasyarakat, maupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku
tindakpidana dan korban kejahatan. Menurut Muladi, makna integrated criminal justicesystem ini adalah sinkronisasi atau
keserampakan dan keselarasan yagg dapat dibedakan dalam:
1. l.Sinkronisasi
struktural (structural syncronization);
2. Sinkronisasi
substansial (substantial syncronization);
3. 3.Sinkronisasi
kultural ( cultural syncronization)[9].
Sinkonisasi struktural adalah keserampakan dan
keselarasan dalamkerangka hubungan antara lembaga penegak hukum.Sinkonisasi substansialadalah
keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam
kaitannya
dengan hukum positif, sedangkan sinkronisasi kultural adalahkeserampakan dan
keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang
secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilanpidana.
PENUTUP
Dalam sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau
instansi yangbekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan
secaraintern mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi pada hakikatnya
masing-masingsubsistem dalam sistem peradilan pidana tersebut saling
bekerjasama dan terikat
pada
satu tujuan yang sama. Hal ini bisa terjadi jika didukung perundang-undangan
yang memadai, yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja
secara
koheren, koordinatif dan integratif.
Pengaturan hukum yang tidak memberikan jaminan
hubungan antarasubsistem seperti disebutkan di atas, akan menyebabkan
terjadinya fragmentasidalam penegakan hukum dan mengarah pada "instansi sentris" yang sangat tidak
memungkinkan bagi terwujudnya sistem peradilan pidana yang terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
HR.
Abdussalam dan DPM Sitompul. 2002. SistemAgung. Jakarta.
M
Faal. 1999. penyaringan perkara pidana oleh polisi (Deskresi Kepolisian) pradnya
paramita. Jakarta.
Muladi.
1995. Kapitu selekta sistem peradilan pidana. Badan penerbit UNDIP Semarang.
Muladi.
2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum diIndonesia. cet.
pertama. The Habibie Center, Jakarfa.
Romli
Atmasasmita. 1996. perbandingan Hukum pidana.CV. Mandar Utama.Bandung.
Romlii
Atmasasmita. 1996. sistem peradilan pidana (perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme ). Bina Cipta Bandung.
undang-undang
No. 8 tahun 1991 tentang Hukum Acara pidana.
[1]
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi Dikresi Kepolisian, Pradnya
Paramita, Jakarta. 1991, hal. 25.
[2]
Ibid. hal 26
[3]
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, CV Mandar Maju, Bandung. 1996.
Hal. 8.
[4]Ibid, hal 9.
[5]Ibid, hal. 41
[6] Ibid, hal 42
[7]Ibid, hal 42
[8]Ibid, hal 43
[9] Muladi, Kapita
Selekta Sistem Peradilan Pidana, badan Penerbit UNDP, Semarang. 1995, hal. 119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar