Senin, 02 Juni 2014

SISTEM PERADILAN PIDANA TERADU MENURUT KUHAP




SISTEM PERADILAN PIDANA TERADU MENURUT KUHAP

TUGAS



DI SUSUN OLEH:
DADANG DJOKO KARYANTO
NIM. B20011086



PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2013



PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum yang ideal harus bisa memenuhi tiga nilai dasar darihukum yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.Baik dalamtataran teoretis maupun praktis, ketiga nilai dasar tersebut tidak mudah untukdiwujudkan secara serasi. Pemenuhan nilai kepastian hukum, terkadang harusmengorbankan nilai keadilan dan kemanfaatan, demikian pula pemenuhan nilaikeadilan dan kemanfaatan di satu sisi, pada sisi yang lain akan bisa berakibat padadikorbankannya nilai kepastian hukum.
Dalam literatur, penegakan hukum pidana melalui pendekatan sistemdikenal dengan istilah sistem peradilan pidana. Secara umum sistem peradilanpidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegakhukum melalui sebuah mekanisme yang meliputi kegiatan bertahap yang dimulaidari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaanputusan hakim yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan.
Proses tersebut bekerja secara berurutan artinya tahap yang satu tidakboleh melompati tahap lainnya. Keseluruhan proses itu bekerja di dalam suatusistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan subsistem yang salingberhubungan dan pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Dalam
sistem peradilan pidana tersebut bekerja komponen-komponen fungsi yangmasing-masing harus berhubungan dan bekerja sarna. Sebagaimana dikatakanoleh Alan Coffey berkaitan dengan hal ini yaitu bahwa:
"Criminal justice can function systematically only to the degrees that each segment af the system takes into account all other segments. In order words, the system is no more systematic than the relationships between police and prosecution, Police and Court Prosecution and Corrections, Corrections and law, and so forth. In the absence of'functional relationships between segments, the criminal justice system is vulnerable to fragmentation and ineffectiveness[1]”.
Jadi adanya fragmentasi dalam arti masing-masing fungsi bekerja sendiri-sendiridan tidak memperhatikan antar hubungan diantara sub-subsistem yang ada harusdicegah bilamana akan dibangun suatu sistem peradilan pidana yang efektif.Dalam hubungan ini perlu diperhatikan konsep "Integrated Approach”, dariHiroshi Ishikawa yang antara lain menegaskan bahwa komponen-komponenfungsi itu walaupun fungsinya berbeda-beda dan berdiri sendiri-sendiri (diversity) tetapi harus mempunyai suatu tujuan dan persepsi yang sama sehingga merupakansuatu kekuatan yang utuh (unity), yang saling mengikat,Hiroshi Ishikawa dalam hal ini menyatakan bahwa:
"Criminal justice.agencies including, the police, prosecution, judiciary instutution should be compared with a chain of gears, and each  of them should be precise and tenacious in maintaining good combination with each other[2]”.
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukumpidana dan para ahli dalam "criminal justice science" di Amerika Serikat seiringdengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum daninstitusi penegakan hukum yang didasarkan pada pendekatan hukum danketertiban yang sangat menggantungkan keberhasilan penanggulangan kejahatan
pada efektivitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian. Dalam hubungan ini pihak kepolisian ternyata menghadapi berbagai kendala, baik yang bersifatoperasional maupun prosedur legal dan kemudian kendala ini tidak memberikanhasil yang optimal daram upaya menekan kenaikan angka kriminalitas, bahkantedadi sebaliknya.
Frank Remington adarah orang pertama di Amerika Serikat yangmemperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (system approach) dan gagasan mengenani sistem ini terdapat dalam laporan Pilot Proyek Tahun 1958. Gagasan ini kemudian dilekatkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi nama “criminal JusticeSystem”. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh The President's Crime Commision[3].
            Diagram skematik “criminal Justice system”, telah disusun oleh “The commision's Task force on science and Technology” di bawah pimpinan ArfredBlumstein sebagai ahli manajemen, Blumstein menerapkan pendekatan manajerial dengan bertopang pada pendekatan sistem terhadap mekanismeadministrasi peradilan pidana sejak saat itu dalarn penanggulangan kejahatan diAmerika Serikat diperkenalkan dan dikembangkan pendekatan sistem sebagaipengganti pendekatan hukum dan ketertiban. Melalui pendekatan sistem inikepolisian, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan tidak lagi merupakan instansiyang berdiri sendiri melainkan masing-masing merupakan unsur berkaitan erat satu sama lain[4].
Sistem peradilan pidana yang terpadu atau yang dikenal dengan istilah integrated criminal justice system memerlukan berbagai persyaratan untuk mewujudkannya. Mengacu pada unsur-unsur sistem, maka keterpaduan dalamsistem peradilan pidana memerlukan sinkronisasi baik yang menyangkut struktur, substansi maupun kultur.

B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan uraian diatas maka, maka persoalan pokok yang akan diteliti:
"bagaimana sistem peradilan terpadu sebagaimana yang diatur dalam KUHAP”.



II. BEBERAPA MODEL PERADILAN PIDANA

A. Crime Control Model dan Due Process Model
Dalam literatur dikenal beberapa model peradilan pidana. Menurut HerbertL. Packer di Arnerika serikat berkembang beberapa model dalam rangkapeni,elenggaraan peradilan pidana. Perlu dijelaskan di sini bahwa penggunaanmodel di sini bukanlah sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam suatu sistemyang dianut oleh suatu Negara,akan tetapi merupakan suatu sistem nilai yangdibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan pidana di berbagai Negara. Berdasarkan pengamatannya dikatakan bahwa dalam penyelenggaraanperadilan pidana di Amerika Serikat dikenal dua model dalam proses pemeriksaan
perkara pidana (two models of the criminal process) yaitu Due process Model dan Crime Control Model.
Kedua model di atas, dilandasi olehAdversary Model (Model perlawanan)yang memiliki ciri-ciri :
a)      Prosedur peradilan harus merupakan suatu disputes atau combating proceedingantara terdakwa dan penuntut umum dalam kedudukan yang sama di muka pengadilan;
b)      Judge as umpire dengan konsekuensi bahwa hakim tidak ikut ambil bagiandalam "pertempuran" (Flight) dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Ia hanya berfungsi sebagai wasit yang meryaga agar permainan tidak dilanggar, baik oleh terdakwa maupun oleh penuntut umum;
c)      Tujuan utama prosedur peradilan pidana adalah menyelesaikan sengketa yangtimbul disebabkan terjadinya kejahatan;
d)     Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas. Peranan penuntut umum adalah melakukan penuntutan, peranan terdakwa adalah menolak atau menyanggah dakwaan. Penuntut umum bertujuan menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikan disertai bukti yang menunjang fakta tersebut. Terdakwa bertugas menentukan fakta-fakta mana saja yang akandiajukan di persidangan yang akan dapat menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti-bukti lain sebagai penunjang fakta tersebut.
Pada crime control modeldidasarkan pada anggapan bahwapenyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk rnenindas perilaku kriminal (criminalconduct), dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan.karena yang diutamakan adarah ketertiban umum (publicorder) dan efisiensi.(Ansorie Sabuan dkk. 1990 : 6 ). Proses kriminal pada dasarnya merupakan suatuperjuangan atau bahkan semacam perang antara dua kepentingan yang tidak dapatdipertemukan kembali yaitu kepentingan negara dan kepentingan individu(terdakwa). Di sini berlakulah apa yang disebut sebagai ”presumptionofguilt” (praduga bersalah) dan "sarana cepat" dalam pemberantasan kejahatan demiefisiensi. Daram praktek model ini mengandung kelemahan yaitu seringnya terjadi
pelanggaran hak asasi manusia demi efisiensi.
Akibat seringnya terjadi peranggaran hak asasi manusia maka munculahmodel yang kedua yang disebut Due process Model.Di daram Due processModel ini muncul nilai-nilai baru yang sebelumnya kurang diperhatikan yaitukonsep perlindungan hak-hak individual dan pembatasan kekuasaan dalampenyelengaraan peradilan pidana. Proses kriminal harus dapat dikendalikanuntuk dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter dalam rangka mencapai maksimum efisiensi. Di dalam model ini berlaku asas yang sangatpenting yaitu asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent).
Kedua model yang diperkenalkan oleh Packer di atas, didasarkan padapemikiran mengenai hubungan antara negara dan individu dalam proses criminal yang menempatkan pelaku tindak pidana sebagai musuh masyarakat (enemy of the society), sedangkan tuiuan utama dari pemidanaan adalah mengasingkanpelaku tindak pidana dari rnasyarakat (exile function of punishment).Menurut John Grifflths kedua model tersebut secara filosofis berlandaskan pada model peperangan (Battle Model) serta pertentangan antara negala dengan individu yang tidak dapat dipertemukan kembali (irreconciliable disharmony of interest)sehingga jika terjadi kejahatan, maka terhadap si pelaku harus segela diprosesdengan menempatkannya sebagai obyek di dalam sistem peradilan pidana.

B.Family Model
Sebagai reaksi terhadap kedua model yang diajukan oleh packer di atas,kemudian Griffiths memperkenalkan model yang ketiga yang oleh Griffithsdisebut sebagai Family Model (model kekeluargaan).Menurut Family Model initidak ada pertentangan yang tidak dapat diselaraskan.Filsafat yang mendasarimodel ini adalah kasih sayang sesama hidup atas dasar kepentingan yang saling menguntungkan (mutually supportive and state of love).
Dikatakan oleh Griffiths bahwa setiap kehidupan dalam masyarakathendaknya selalu dilandasi oleh kasih sayang yang berlanjut sebagairnana yangada dalam keluarga kecil. Di dalam keluarga misalnya bila terjadi kenakalan yangdilakukan oleh seorang anak, kita tidak boleh menyebut si anak tersebut adalahjahat.Sanksi pidana dalam hal ini tidak berfungsi untuli mengasingkan, tetapiuntuk pengembalian kapasitas pengendalian diri (capacity for self control).
Salah satu negara yang clisebut-sebut menganut familyModel ini adalahnegeri Belanda.Hal ini dibukikan dengan kurang ditonjolkannya pidanaperampasan kemerdekaan, tetapi yang lebih dipentingkan adalah sarana non institusional. Bukti lain yang dikemukakan di sini adalah bahwa di negeri Belandatelah berkembang secara luas lembaga pelayanan sosial, yang tidak hanyamemberikan bantuan finansial tetapi juga yang bersifat non finansial,berkembangnya pusat-pusat kegiatan remaja yang dibina secara baik oleh pemerintah dan swasta banyaknya pekerja sosial yang terlibat di dalam lembagasosial, masmedia yang mendukung secara positif model kekeluargaan tersebut danmemberitakan secara selektif segala sesuatu yang berhubungan denganpenyelenggaraan peradilan pidana.

C. Integrated Criminal Justice Sistem
Di samping ketiga model sistem peradilan pidana yang telah diuraikan diatas, dalam perkembangannya saat ini terdapat berbagai usaha untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai sistem peradilan pidana terpadu atauintegrated criminal justice system. Model terpadu dalam penyelenggaraanperadilan pidana dapat dikaji dalam sistem peradilan pidana di Jepang yang memiliki karakteristik: Pertama adanya sistem pendidikan yang memadai daripara penegak hukum yang memungkinkan mereka memiliki pandangan yangsama dalam melaksanakan tugasnya. seleksi untuk meryadi hakim jaksa, danpengacara dalam penyelenggaraan peradilan pidana dilaksanakan oleh organisasipengacara di Jepang dan setelah mereka lulus, kemudian masuk dalam pendidikanyang sama yang dikoordinasikan oleh Mahkamah Agung Jepang; Kedua,parapenegak hukum profesional yang dicapai melalui pelatihan yang baik dengandisiplin yang tinggi, serta terorganisir dengan baik; Ketiga,tujuan yang ingindicapai adalah apa yang disebut sebagai "precise justice”, atau keadilan yang pas(tepat). Konsep "precise justice" ini tampaknya merupakan kitik orang Jepangterhadap model peradilan pidana di Arnerika serikat yang menurut mereka hanyamengejar apa yang disebut sebagai layman justice (keadilan orang-orang awam);Keempat, adanya partisipasi masyarakat yang tinggi akibat tingkat profesionalisasiyang dimiliki oleh aparat penegak hukum di Jepang.



III. KUHAP SEBAGAI INTEGRATED MODEL

Dalam hukum acara pidana ( hukum pidana formil ) sebagaimanatercantum dalam uu No. 8 Tahun 1991 tentang Hukum Acara pidana telahdicoba diletakkan kerangka landasan untuk melalisanakan peradilan pidanaterpadu. Hal ini tampak dalam pengaturan hal-har sebagai berikut:

A. Hubungan Penyidik POLRI Dengan penyidik pegawai Negeri Sipil(PPNS).
1.      PPNS dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinator danpengawasan Penyidik POLRI ( pasal 1 ayat 2);
Untuk kepentingan panyidikan, penyidik memberikan petunjuk kepadaPPNS dan rnemberikan bantuan penyidikan yang diperlukan ( pasal 107ayat I );
2.      PPNS melaporkan tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidikPOLRI ( Pasal 107 ayat 2);
3.      PPNS menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada penuntutumum melalui penyidik POLRI ( pasal 107 ayat 3 );
4.      Dalam hal PPNS menghentikan penyidikan, segera memberitahukanpenyidik POLRI dan Penuntut Umum ( pasal 109 ayat 3 ).

B. Hubungan Penyidik POLRI Dengan penuntut Umum
1.      Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umunl ( pasal 8,Pasal 14 huruf a, Pasal 110 ayat 1 );
2.      Penuntut umum memberikan perpanjangan penahanan atas permintaanpenyidik ( Pasal 14 huruf c, Pasal 24 ayat 2);
3.      Dalam hal Penuntut umum berpendapat hasil penyidikan belum lengkap, iasegera mengembalikan kepada penyidik disertai petunjuknya dan penyidikwajib melengkapinya dengan melakukan pemeriksaan tambahan ( pasal 14hurufb, Pasal 110 ayat 2 dan ayat 3 );
4.      Dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan/pemeriksaan,memberitahukan hal itu kepada Penuntut umum ( pasal 109 ayat I );
5.      Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, memberitahukan hal itukepada Penuntut umum ( Pasal 109 ayat 2 ), sebaliknya dalam hal penuntutumum menghentikan penuntutan, ia memberikan Surat Ketetapan kepadaPenyidik ( Pasal 140 ayat 2 huruf c );
6.       Penuntut Umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara suratdakwaan kepada penyidik ( pasal 143 ayat 4 ), demikian pula dalam halPenuntut umum mengubah surat dakwaan ia memberikan tumuanperubahan surat dakwaan itu kepada penyidik ( pasal 144 ayat 3).
7.      Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa penuntut umum (demihukum), melimpahkan berkas perkara dan menghadapkan terdakwa saksi/ahli, juru bahasa dan barang bukti pada sidang pengadilan (pasal 205 ayat 2).Konsekuensi dari hal di atas, penyidik memberitahukan hari sidang kepada terdakwa (pasal 207 ayat I) dan menyampaikan amar putusankepada terpidana (pasal 214 ayat3).


C. Hubungan penyidik dan Hakim/pengadilan.
1.      Ketua Pengadilan Negeri dengan keputusannya memberikan perpanjanganpenahanan sebagaimana dimaksud pasal 29 atas permintaan penyidik;
2.      Atas permintaan penyidi(Ketua pengadilan Negeri menolak ataumemberikan surat izin penggeledahan rumah atau penyitaan dan/atau suratizin khusus pemeriksaan surat (pasal 33 ayat 1, pasar 38 ayat I);
3.      Penyidik wajib segera melapor kepada Ketua pengadilan Negeri ataspelaksanaan penggeredahan rumah atau penyitaan yang dilakukan dalamkeadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana dimalisud pasal 34ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2,
4.      Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan telahdisampaikan kepada terpidana (pasal 214 ayat3);
5.      Panitera memberitahukan kepada penyidik tentang adanya pelawanan dariterdakwa ( Pasal 214 ayat 7).

D.      Hubungan Antara pengadilan dan Jaksa Di satu pihak dan LembagaPemasyarakatan di Lain pihak.
Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 36 undang-undang Kekuasaan kehakiman No. 4 Tahun 2004 yang mengatur tentang pengawasan peraksanaanPutusan Pengadilan undang-undang Kekuasaan Kehakiman pasal 36:
Ayat (1): Pelaksanaan putusan pengadilan daiam perkara pidana dilakukan olehjaksa.
Ayat (2): Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutanberdasarkan undang-undang.
Ayat (3): pelaksanan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan olehpanitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
Ayat(4): putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilaikemanusiaan dan keadilan.
Undang-undang yang dimaksud oleh pasal 36 ayar (2) di atas adalahundang-undang no. 9tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana yangpengaturannya terdapat di dalam Bab XX, pasal 277-283. Ketentuanselengkapnya adalah sebagai berikut:

Pasal 277:
Ayat (l) : Padasetiap pengadilan harus adahakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
Ayat (2): Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) yang disebut hakim pengawas dan pengamat ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua tahun.
Pasal 278:Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksaraan putusanpengadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembagapemasyarakatan, dan terpidana kepada pengadilan yang memutusperkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalamregister pengawasan dan pengamatan.
Pasal 279:Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut padapasal 278 wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga olehhakim sebagaimana dimaksud dalam pasal277.
Pasal 280:
Ayat (1): Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan gunamemperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ayat (2): Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan,yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pemidanaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbat balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya.
Ayat (3): Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetapdilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya.
Ayat (4) : Pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam pasal277 berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat.
Pasal 281: Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembagapemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktutentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut.
Pasal 282: Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakimpengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu.
Pasal 283 : Hasil pengawasan dan pengamatan dlaporkan oleh hariim pengawasdan pengamat kepada ketua pengadilan negeri secara berkala.
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah agar supaya terdapat jaminan,bahwa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan dilaksanakan semestinya.Disamping itu untuk lebih mendekatkan pengadilan tidak saja dengan lembagakejaksaan tetapi juga dengan pemasyarakatan. Pengawasan tersebut menempatkanpemasyarakatan dalam rangkaian proses pidana dan menetapkan tugas hakimtidak berakhir pada saat putusan dilatuhkan olehnya.
Di samping itu untuk memenuhi penyelenggaraan peradilan yangterpadu, oleh Mahkamah Agung pernah dikeluarkan SEMA No. 10 Tahun 1983tentang Penetapan Perpanjangan Penahanan jangan sampai terlambat diserahkankepada Penuntut Umum. Dalam SEMA dikatakan, bahwa mengingat seringterjadinya penetapan perpanjangan penahanan yang dikeluarkan oleh pengadilan, dimana salinannya sering terlambat sampai di tangan penuntut umum (yangmeminta permohonan perpanjangan penahanan), sehingga ketika maudilaksanakan oleh Penuntut umum ternyata terdakwanya sudah dikeluarkan olehkepala Lembaga Pemasyarakatan demi hukum. Untuk tidak mengulangi hal itu,maka ditentukanlah bahwa paling lambat 10 hari sebelum habisnya masapenahanan pengadilan negeri harus sudah mengeluarkan penetapanperpanjangannya dan pada hari itu juga (hari penandatanganan surat penetapanitu) salinan surat tersebut sudah harus disampaikan kepada penuntut Umum dengan surat pengantar yang tembusannya disampaikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dimana tempat terdakwa ditahan.
Menurut Romli Atmasasmita, KUHAP memiliki 10 (sepuluh) asas sebagai berikut:
1.      perlakuan yang sama di muka hukum;
2.      praduga tidak bersalah;
3.      hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi:
4.      hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5.      hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
6.      peradilan yang bebas, dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7.      peradilan yang terbuka untuk umum;
8.      pelanggaran atas hak-hak warganegara (penangkapan- penahanan,dilakukan penggeledahan dan penyitaan) harus dilakukan berdasarkanundang-undang dan dengan surat perintah (tertulis);
9.      hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaanterhadapnya;
10.  kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya[5].
Berdasarkan kesepuluh asas tersebut, maka dapat dikatakan bahwaKUHAP menganut "due process of law" (proses hukum yang adil atau layak)Suatu proses hukum yang adil pada intinya adalah hak seorang tersangka danterdakwa untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan ituterjadi dalam pemeriksaan terhadapnya dia berhak didampingi oleh penasihathukum; diapun berhak mengajukan pembelaan, dan penuntut umum harusmembuktikan kesalahannya di muka suatu pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak berpihak[6].
Menurut Mardjono Reksodiputro, "desain prosedur” (proceduraldesign) sistem peradilan pidana yang ditata meralui KUHAP terbagi dalam tigatahap, yaitu tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap praadjudikasi (pre-adjudication), tahap sidang pengadilan atau tahap adjudikasi (adjudication), dantahap setelah pengadilan atau puma adjudikasi (post-adjudication). Beliaumendukung pandangan bahwa tahap adjudikasi atau tahap sidang pengadilanharus dianggap dominan dalam seluruh proses. Pandangan ini berdasarkan padaKUHAP yang menyatakan bahwa setiap putusan apapun bentuknya harus didasarkan pada fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksan di sidang, sehingga suatu sistem peradilan pidana yang jujur danmelindungi hak seorang warga negara yang merupakan terdakwa, akan paling jelas terungkapkan dalam tahap adjudikasi. Hanya dalam tahap adjudikasi inilahterdakwa dan pembelanya dapat berdiri tegak sebagai pihak yang benar-benar bersamaan derajatnya berhadapan dengan penunfut umum[7].
Pandangan di atas tidak sepenuhnya disetujui oleh Rornli Atmasasmita,dengan alasan bahwa sekalipun memang benar bahwa pada tahap ini dari suduthukum masing-masing pemeran utama ( penasihat hukum/terdakwa dan penuntutumum) memiliki kedudukan yang sederajat, akan tetapi pada tahap ini dilihat darisudut kriminologi clan viktimologi proses stigmatisasi dan viktimisasi strukturalsudah berjalan, bahkan sejak tahap penangkapan dan penahanan[8].
Sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang mampu menjagakeseimbangan perlindungan kepentingan baik kepentingan negara kepentinganmasyarakat, maupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindakpidana dan korban kejahatan. Menurut Muladi, makna integrated criminal justicesystem ini adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yagg dapat dibedakan dalam:
1.      l.Sinkronisasi struktural (structural syncronization);
2.      Sinkronisasi substansial (substantial syncronization);
3.      3.Sinkronisasi kultural ( cultural syncronization)[9].
Sinkonisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalamkerangka hubungan antara lembaga penegak hukum.Sinkonisasi substansialadalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam
kaitannya dengan hukum positif, sedangkan sinkronisasi kultural adalahkeserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilanpidana.



PENUTUP

Dalam sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yangbekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan secaraintern mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi pada hakikatnya masing-masingsubsistem dalam sistem peradilan pidana tersebut saling bekerjasama dan terikat
pada satu tujuan yang sama. Hal ini bisa terjadi jika didukung perundang-undangan yang memadai, yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja
secara koheren, koordinatif dan integratif.
Pengaturan hukum yang tidak memberikan jaminan hubungan antarasubsistem seperti disebutkan di atas, akan menyebabkan terjadinya fragmentasidalam penegakan hukum dan mengarah pada "instansi sentris" yang sangat tidak memungkinkan bagi terwujudnya sistem peradilan pidana yang terpadu.


DAFTAR PUSTAKA


HR. Abdussalam dan DPM Sitompul. 2002. SistemAgung. Jakarta.

M Faal. 1999. penyaringan perkara pidana oleh polisi (Deskresi Kepolisian) pradnya paramita. Jakarta.

Muladi. 1995. Kapitu selekta sistem peradilan pidana. Badan penerbit UNDIP Semarang.

Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum diIndonesia. cet. pertama. The Habibie Center, Jakarfa.

Romli Atmasasmita. 1996. perbandingan Hukum pidana.CV. Mandar Utama.Bandung.

Romlii Atmasasmita. 1996. sistem peradilan pidana (perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme ). Bina Cipta Bandung.

undang-undang No. 8 tahun 1991 tentang Hukum Acara pidana.


[1] M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi Dikresi Kepolisian, Pradnya Paramita, Jakarta. 1991, hal. 25.
[2] Ibid. hal 26
[3] Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, CV Mandar Maju, Bandung. 1996. Hal. 8.
[4]Ibid, hal 9.
[5]Ibid, hal. 41
[6] Ibid, hal 42
[7]Ibid, hal 42
[8]Ibid, hal 43
[9] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, badan Penerbit UNDP, Semarang. 1995, hal. 119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar