Senin, 02 Juni 2014

KEBIJAKAN PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SWASTA DI KABUPATEN TEBO DALAM ERA OTONOMI DAERAH



KEBIJAKAN PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SWASTA DI KABUPATEN TEBO
DALAM ERA OTONOMI DAERAH












Oleh : Woro handayani










          PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN
           PASCASARJANA UNIVERSITAS JAMBI
2014


BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

                  Reformasi tahun  1998  telah  melahirkan  tuntutan  publik termasuk  pelayanan pendidikan yang adil dan berkualitas. Tuntutan publik terhadap adanya perubahan sistem, pengelolaan, maupun pelayanan pendidikan melahirkan suatu keputusan sekaligus    kesepakatan untuk memberlakukan desentralisasi  pendidikan yang merupakan bagian dari desentralisasi pemerintahan dalam bentuk otonomi daerah secara keseluruhan (Baedhowi, 2009:88).
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999  yang disempurnakan dengan UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ditetapkan bahwa pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah di bidang pendidikan dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia  No.  25  Tahun  2000  yang  diperbarui  dengan  Peraturan  Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara      Pemerintah,   Pemerintah    Daerah Provinsi,              dan                 Pemerintah    Daerah Kabupaten/Kota.
              Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5  memberikan definisi Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengacu pada definisi normatif dalam UU No 32 Tahun 2004, maka unsur otonomi daerah adalah :  Hak,Wewenang,Kewajiban Daerah Otonom.
Menurut Rondinelli (1984), desentralisasi secara luas diharapkan untuk mengurangi kepadatan beban kerja di pernerintah pusat. Sementara itu, di lain pihak Maddick (1963) mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah clan incmperoleh informasi yang lebih baik mengenai keadaan daerah, untuk menyusun program-program daerah secara lebih responsif dan untuk mengantisipasi secara cepat manakala prrsoalan-persoalan timbul dalam pelaksanaan.
Desentralisasi juga dapat dipakai sebagai alat untuk mcmobilisasi dukungan terhadap kebijakan pembangunan nasional dengan menginformasikannya kepada masyarakat (Lurah untuk menggalang partisipasi di dalam perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya di daerah. Partisipasi lokal dLipat digalang melalui keterlibatan dari berbagai kepentingan sepcrti kepentingan-kepentingan politik, agama, suku, kelompok-kelompok profesi di dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan oleh pemerintah daerah (Oentarto, et.al., 2004: 20).
              Otonomi pendidikan  menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 adalah terungkap pada hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Pada bagian ketiga hak dan kewajiban masyarakat pasal 8 disebutkan bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan program evaluasi pendidikan. Pasal 9, masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat hak dan kewajiban pemerintah, dan pemerintah daerah pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia 7-15 tahun.


              UUD tahun 45  menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah menyusun dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang diatur oleh negara. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelanggaraan pendidikan nasional. Dengan adanya UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 telah terjadi perubahan sistem pemerintahan yang sentrallistik menjadi desentralistik, dimana setiap daerah memiliki kewenangan untuk  mengatur dan mengurus sistem pemerintahannya sendiri guna mensejahterakan masyarakat di daerahnya.
                      Telah banyak penelitian yang dilakukan sebelumnya atas kajian kebijakan
pendidikan Pada era otonomi daerah  beberapa lokasi yang berbeda. Diantaranya adalah sebagai berikut : Hadi Tugur (2011), melakukan penelitian dengan judul ‘Ranah Kebijakan pendidikan di  era otonomi daerah  Nina Lathifa peningkatan  mutu madrasah pada era otonomi daerah  studi manajemen berbasis sekolah
Permasalahan Pendidikan di  Kabupaten tebo adalah: (1) belum optimalnya kemampuan dan kesiapan SDM di lingkungan pendidikan dalam menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan; (2) kurang optimalnya sekolah untuk mengatur sendiri      penyelenggaraan        pendidikan;      (3)        ranking              kelulusan                siswa              jambi dibandingkan daerah lain di sumatra masih tertinggal; (4) masih rendahnya pemahaman dan pengalaman pengelolaan keuangan sekolah sesuai regulasi yang ada; (5) masih sedikitnya sekolah yang bertaraf nasional dan internasional berdasarkan proporsi jumlah sekolah; ( Meski sudah dihapuskan) (6) disparitas kualitas sekolah dan pendidik, antara sekolah di tengah kota dengan di wilayah pinggiran kota; (7) masih rendahnya pemahaman masyarakat berpartisipasi dalam pendanaan pendidikan; dan (8) Sarana dan prasarana sekolah masih ada yang tidak sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan renstra pendidikan nasional tahun 2010-2014
          Berdasarkan  hal-hal  tersebut  menarik  untuk teliti efektifitas implementasi kebijakan pendidikan Kabupaten tebo pada era otonomi daerah. Penelitian ini akan diawali  dengan meneliti  bagaimana  Kebijakan Pendidikan Sekolah menegah kejuruan swasta di kebupaten tebo dalam era otonomi daerah.
          1.2  Rumusan Masalah
1.  Bagaimana Kebijakan Pendidikan untuk SMKS  yang dilakuakan Pemerintah Di kabupaten Tebo pada era otonomi daerah.?
2.  Bagaimana model implementasi kebijakan pendidikan untuk SMKS pada era   otonomi daerah di kabupaten tebo?
          1.2 Tujuan penelitian
1.   Memberikan gambaran atau mendeskripsikan kebijakan yang dilakukan
Pemerintah Kabupaten tebo dalam meningkatkan pendidikan di
Kabupaten Tebo.
2.  Memberikan gambaran atau mendeskripsikan model implementasi kebijakan
pendidikan  pada era otonomi daerah di Kabupaten tebo.
            1.3 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bermanfaat bagi
penelitian sejenis, serta diharapkan hasil penelitian ini bisa mengembangkan
khasanah pengetahuan dan teori-teori yang ada pada bidang kajian Kebijakan Penidikan
2) Bagi peneliti, penelitian ini merupakan bagian dari implementasi teori-teori
yang telah didapat selama kuliah di Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan Universitas Jambi
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu bahan rekomendasidan rujukan bagi Pemerintah Kabupaten Tebo  maupun pihak terkait lainnyadalam kegiatan perencanaan pembangunan di Kabupaten Tebo.
                                       

























BAB II
Tinjaun Pustaka

2.1 Konsep Otonomi Pendidikan
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti Hukum atau aturan. Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai “perundangan sendiri, mengatur atau rnemerintah sendiri”.
Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para pakar dan penulis, di antaranya Syarif Saleh mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat. Wayong mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri. Sugeng Istanto menyatakan bahwa otonomi diartikan sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Sementara itu, Ateng Syafruddin mengemukakan bahwa istilah otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
B.     Otonomi/ Desentralisasi Pendidikan Islam
1.      Konsep Otonomi Pendidikan
Otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti “sendiri” dan nomos yang berarti “hukum” atau “atauran”. Sedangkan menurut Ateng Syafrudin mengatakan bahwa istilah otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan.
Otonomi pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 adalah terungkap pada hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Pada bagian ketiga hak dan kewajiban masyarakat pasal 8 disebutkan bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan program evaluasi pendidikan. Pasal 9, masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat hak dan kewajiban pemerintah, dan pemerintah daerah pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia 7-15 tahun.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosifi, tujuan, format dan isi pendidikan serta menejemen pendidikan itu sendiri. Impikasi dari semua itu adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidkan yang jelas dan jauh kedepan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang tren perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh masyarakat yang lebih baik kedepannya serta merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa indonesia yang bineka tunggal ika.
Untuk itu kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tetang kondisi daerah, sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dalam upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.
2.      Otonomi Pendidikan sebagai Optimalisasi Potensi Daerah
UUD tahun 45  menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah menyusun dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang diatur oleh negara. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelanggaraan pendidikan nasional. Dengan adanya UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 telah terjadi perubahan sistem pemerintahan yang sentrallistik menjadi desentralistik, dimana setiap daerah memiliki kewenangan untuk  mengatur dan mengurus sistem pemerintahannya sendiri guna mensejahterakan masyarakat di daerahnya
Pelimpahan wewenang kepada daerah membawa konsekuensi terhadap pembiayaan guna mendukung proses desentralisasi sebagaimana termuat dalam pasal 12 ayat 1 UU No 32 tahun 2004 bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang disentralisasikan.
Sejalan dengan arah kebijakan otonomi dan desentralisasi yang ditempuh oleh pemerintah, tanggung jawab pemeritah daerah akan meningkat dan semakin luas, termasuk dalam menejemen pendidikan. Pemerintah daerah di harapkan  untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan, mulai dari tahap perumusan kebijakan daerah, perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan dan monitoring di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan pemerintah
Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah memiliki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah diseluruh Indonesia, terutama yang berkaitan langsung dengan SDM dan SDA masing-masing daerah dalam upaya menggali dan mengoptimalkan potensi-potensi masyarakat yang selama ini masih terpendam. Begitu juga adanya desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah baik tingkat I maupun tingkat II dapat memulai peranannya sebagai basis pengelolaannya sebagai pendidikan dasar. Untuk itu perlu adanya lembag non struktural yang melibatkan masyarakat luas untuk memberikan pertimbangan pendidikan dan kebudayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan kemampuan daerah tersebut.
Di era otonomi ini, sudah saatnya kita berpikir kritis untuk membangun sebuah masyarakat yang berpendidikan, humanis, demokratis dan berperadaban. Agar masyarakat selama ini dimarjinalkan dalam lubang berpikir yang ortodoks tidak lagi ada dalam bangunan dan tatanan masyarakat dinamis dan progesif. Maka bila hal ini bisa terwujud, masyarakat juga akan merasa bangga dengan dirinya sendiri dan pada nantinya akan respek terhadap kemajuan dan pekembangan yang terjadi dalam lingkungan sosial maupun pendidikan. Karena masyarakat telah diberikan penghargaan yang tinggi sebagai mahluk sosial dan sebagai hamba Tuhan. Sehingga pendidikan masyarakat yang mencakup seluruh komponen masyarakat dan sekolah itu dapat berjalan dengan sinergis, beriringan dan selaras sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Selain itu juga di era otonomi ini, masyarakat perlu diberikan kepercayaan untuk ikut serta dalam pemberdayaan dan pengelolaan pendidikan, tidak hanya sekedar sebagai penyumbang atau penambah dana bagi sekolah yang terlambangkan dalam BP3. Dengan kata lain ketidak seimbangan dan ketimpangan antara hak dan kewajiban anggota BP3 yang terdiri dari masyarakat atau orang tua peserta didik harus tiadakan. Karena hal itu telah menjadikan lembaga yang seharusnya mewadahi partisipasi masyarakat tidak ada fungsinya lagi (disfuction), untuk itu ketika otonomisasi telah digalakkan maka sudah saatnya masyarakat diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di sekolah dalam berbagai hal. Tetapi tidak hanya sekedar sebagai formalitas saja dalam arti masyarakat dalam musyawarah nantinya sekedar menjadi objek saja atau sebagai pendengar, tetapi harus benar-benar dilibatkan secara langsung, namun peran serta masyarakat juga terbatas pada lingkup tartentu dengan diikutsertakan masyarakat dalam pendidikan akan lebih efektif kerena secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat itu sendiri.
Berkaitan dengan implementasinya otonomi pendidikan, maka sudah tentunya peran dari lembaga pendidikan sebagai pusat pengetahuan, IPTEK ,dan budaya menjadi lebih penting serta stategis. Hal itu dilakukan dalam rangka pemberdayaan daerah, untuk mempertegas otonomi yang sedang berjalan.
3.      Permasalahan dalam pelaksanaan otonomi pendidikan
Pembagian kewenangan dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, memberikan fokus bahwa pelaksanaan otonomi daerah adalah didaerah kabupaten dan daerah kota. Dalam situasi yang demikian ini, baik dari segi kewenangan maupun sumber pembiayaan dibidang pendidikan, daerah kabupaten atau kota akan memegang peranan penting terutama dalam pelaksanaannya. Sementara itu koordinasi dan singkronisai program pendidikan perlu di tingkatkan agar mampu menghindari ego kewilayahan. Untuk itu pelaksanaan desentralisasi pendidikan, menjadi penting kiranya kita mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaannya dan diantara masalah itu adalah:
a.       Kepentingan Nasional
Salah satu tujuan nasional yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD 45, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa” . Untuk mencapai hal tersebut pasal-pasal dalam UUD 1945 dengan segala amandemennya menegaskan demokratisasi dan pemenuhan hak-hak dasar bagi semua warga negara untuk memperoleh pendidikan. Kemungkinan yang terjadi adalah bagaimana dengan masing-masing daerah kabupaten atau kota, yang potensi sumber pembiyayaannya berbeda, dapatkah menjamin agar tiap warga negara memperoleh hak pendidikan tersebut. Hal lain yang berkaitan dengan kepentingan nasional adalah bagaimana melalui pendidikan dapat tetap dikembangkan dalam satu kesatuan arah dan tujuan

b.      Peningkatan mutu
Salah satu dasar pemikiran yang melandasi lahirnya UU No 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan baik eksternal maupun internal khususnya menghadapi tantangan persaingan global dan persaingan pasar bebas. Ada tiga kemampuan dasar yang diperlukan agar masyarakat indonesia dapat ikut dalam persaingan global, yaitu kemampuan menejemen, teknologi dan kualitas SDM yang semua itu dapat dicapai melalui pendidikan yang bermutu. Mutu yang dimaksud disini bukan hanya yang memenuhi Standar Nasional tetapi juga internasional. Persoalannya adalah dengan adanya otonomi pelaksanaan pendidikan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten atau kota yang kualitas sumberdaya,prasarana dan kemampuan pembiayaannya bagi masyarakat akankah dapat menghasilkan mutu yang dibawah atau diatas standar?
c.       Efisiensi pengelolaan
Guna memacu peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dalam kondisi keterbatasan sumber dana yang kemudian dibagi-bagi pada daerah otonomi, pelaksanakanotonomi daerah juga diharapkan dapat meningkatkan efesiensi pengelolaan (technical efficiency) maupun efisiensi dalam mengelolakan anggaran (economic efficiency). Sistem pengelolahan yang sangat sentralistik selama ini akan mempunyai potensi problem efisiensi pengelolaan didaerah, apalagi diseolah,jika tidak dilakukan secara profesional dan proporsional.
d.      Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi otonomi pendidikan. SDM selama ini belum memadai, maksudnya yaitu berhubungan dengan kuantitas dan kualitas SDM tersbut. Masih ada daerah yang belum dapat memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan konsep otonomi pendidikan. Demikian halnya yang berkaian dengan kuantitas atau jumlah SDM yang ada.
e.       Pemerataan
Pelaksanaan otonomi pendidikan dapat meningkatkan aspirasi masyarakat akan pendidikan yang diperkirakan akan juga meningkatkannya pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. Tetapi yang jadi permasalahan adalah semakin tingginya jarak antara daerah dalam pemerataan akan fasilitas pendidikan yang akhirnya akan mendorong meningkatnya kepincangan dalam mutu hasil pendidikan.
f.       Peranserta Masyarakat
Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dan dalam menyelanggarakan pendidikan. Peran serta masyarakat dalam pendidikan dapat berupa perorangan,kelompok ataupun lembaga seperti dunia usaha dan industri.
g.      Pengawasan Pendidikan
Sistem pendidikan nasional termasuk aspek kepengawasannya diharapkan memiliki kemampuan untuk merespon berbagai tuntutan daerah, terus bersaing secara global. Sistem pengawasan hendaknya menitik beratkan kepada pengembangan mutu, mewujudkan efisiensi dan efektivitas layanan manejemen. Pengawasan pendidikan hendaknya juga juga tidak hanya sekedar diposisikan sebagai perilaku birokratis dan perundang-undangan saja. Lebih dari itu hendaknya diperlakukan sebagai bagian dari budaya profesional dalam organisasi pendidikan. Sekalipun pengawasan itu merupakan rangkaian atau siklus dari proses menejemen, akan tetapi makna pengawasan melekat, dan pengawasan masyarakat harus selalu bersinergi dengan pengawasan fungsional.
h.      Masalah Kurikulum
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa kondisi masyarakat indonesia sangat heterogen dengan berbagai macam keragamannya, seperti budaya, adat, suku, SDA dan bahkan SDM-nya. Masing-masing daerah mempunyai esiapan dan kemampuan yang berbeda dalam pelaksanaan otonomi penidikan. Dalam konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga pendidkan tidak sekedar daftar mata pelajaran yang dituntut dalam suatu jenis jenjang pendidikan, dalam pengertian yang luas kurikulum berisi kondisi yang telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran tertentu.
Sedangkan menurut Hasbullah, kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan kegiatan suatu lembaga pendidikan atau pelatihan untuk mewujudkan visi dan misi lembaganya.
4.      Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
Desentralisasi pendidikan yang telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001 sudah nampak beberapa hal positif pelaksanaanya, misalanya banyaknya daerah terutama daerah yang kaya memiliki semangat memajukan pendidikan bagi masyarakatnya dengan meningkatkan anggara pendidikan pada Anggara Pendapatan dan Belanja Negara (APBD). Langkah yang dilakukan adalah menyederhanakan dan mempersingkat birokrasi pendidikan di daerah, meningkatkan inisiatif dan kreativitas derah dalam mengelola pendidikan yang lebih memungkinkan tercapainya pemerataan pendidikan pada daerah-daerah terpencil, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung pendidikan. Ini adalah hal yang wajar karena pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dan dengan didukung dengan biaya dengan porsi yang lebih besar dalam upaya pembangunan bidang pendidikan termasuk bidang administrasi, kelembagaan, keuangan, perencanaan dan sebagainya. Oleh karena itu, kesiapan daerah untuk dapat menjalankan peran yang lebih besar menjadi lebih sentral dalam desentralisasi pendidikan.
Armida S. Alisjahbana  menyebutkan bahwa dalam wujud pelaksanaan desentralisasi pendidikan, ada beberapa kewenangan-kewenangan pendidikan yang dapat didisentralisasikan, yakni sebagai berikut:
Komponen pendidikan
Kewenangan
Organisasi dan poses belajar Mengajar
·  Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
·  Waktu belajar di sekolah.
·  Penentuan buku yang digunakan.
·  Kurikulum.
·  Metode pembelajaran.
Manajemen guru
-       Memilih dan memberhentikan kepala sekolah.
-       Memilih dan memberhentikan guru.
-       Menentukan gaji guru.
-       Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada guru.
-       Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada guru.
Struktur dan perencanaan
-    Membuka atau menutup suatu sekolah.
-    Menentukan program yang ditawarkan sekolah.
-    Definisi dari isi mata pelajaran.
-    Pengawasan atas kinerja sekolah.
Sumber daya
-    Program pengembangan sekolah.
-    Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).
-    Alokasi anggaran non-personnel.
-    Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.
           
Desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi di bidang pemerintahan lainnya, di mana disentralisasi pada bidang pemerintahan berada pada tingkat kabupaten/kota. Sedangkan desentralisasi pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat kabupaten/kota saja, tatapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan.
Sehubungan dengan itu, maka konsepsi desentralisasi pendidikan harus dikemas dalam program school based management (MBS), yakni suatu sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan sekoleh setempat. Sekolah diharapkan mengenali seluruh infrastruktur yang berada di sekolah, seperti guru, siswa, sarana prasarana, finansial, kurikulum, dan sistem informasi. Unsur-unsur manejemen tersebut harus difungsikan secara optimal dalam arti perlu direncanakan, diorganisasi, digerakkan, dekendalikan dan dikontrol. MBS harus didukung oleh partisipasi masyarakat yang diwadahi melalui komite sekolah/dewan sekolah yang memiliki peran sebagai berikut:
a.       Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.
b.      Pendukun (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan.
c.       Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
d.      Mediator antara pemerintah (eksekutif)  dan  legislatif dengan masyarakat.
Selain itu salah satu upaya dalam menerapkan desentralisasi pendidikan di sekolah, adalah dengan meningkatkan kapasitas otonomi sekolah itu sendiri dengan cara sebagai berikut:
a.       Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
b.      Pelibatan Masyarakat
c.       Pemberdayaan Masyarakat
d.      Orientasi pada Kualitas
e.       Meniadakan Penyeragaman.
Namun dibalik itu semua bahwa pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia belum mampu membawa peningkatan bagi pengembangan pendidikan di daerah. Dengan kata lain, keadaan pengembangan pendidikan di daearah belum menunjukkan perbedaan yang berararti, atau sama saja antara sebelum dan sesudah dilaksanakan desentralisasi pendidikan. Bahkan desentralisasi pendidikan dalam hal tertentu justru malah menimbulkan kesulitan baru dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Karena untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu diatasi. Masalah-masalah sebagaimana disebutkan oleh Hasbullah antara lain:
a.       Masalah Kurikulum
Kondisi masyarakat Indonesia adalah heterogen dan masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan kemampuan yang berbeda-beada dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objektif di daerahnya. Untuk itu kurikulum suatu lembaga pendidikan jangan hanya sekedar daftar mata pelajaran saja yang dituntut di dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan, tetapi lebih luas lagi yakni berisi kondisi yang sesuai dengan karakteristik daerah. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Armida S. Sjahbana bahwa perlu kejelasan tentang kebijakan perumusan kurikulum, apakah hanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sedangkan muatan lokal dalam persentase yang cukup signifikan diserahkan pada masing-masing daerah atau bahkan langsung pada msing-masing sekolah. Saat ini kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat dan daerah hanya dapat mengisi bagian kurikulum yang berupa muatan lokal dal persentase yang sangat kecil.
b.      Masalah Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM merupakan pilar utama dalam mengimplementasikan desentralisasi pendidikan, karena  SDM yang kurang profesional akan menghambat pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Misalnya ada beberapa tenaga kependidikan bahkan Kepala Dinas Pendidikakan diangkat dari mantan camat, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan lain-lain. Meskipun para mantan pejabat itu pernah mengurus orang banyak, tatapi berbeda dengan karakteristik dengan peserta didik adan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
c.       Masalah Dana, Sarana, dan Prasarana Pendidikan
Persolan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan di Indonesia. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikanrendah karena dana yang tidak mencukupi, anggaran untuk pendidikan masih rendah. Hal ini semestinya tidak perlu terjadi di era desentralisasi pendidikan karena anggaran pendidikan sudah diserahkan kepada pemerintah daerah dengan dikelurakannya UU-PKPD Tahun 2004. Begitu pula telah ditegaskan dalan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 49 ayat (1) dikemukakan bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
  Sayangnya, amanat yang jelas-jelas memiliki dasar dan payung hukum hingga saat ini belum bisa dilaksanakn dengan baik. Karena pemerintah daerah eksekutif dan legislatif belum menganggap pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan.
d.      Masalah Organisasi Kelembagaan
Dalam hal kelembagaan kependidkian antar kabupaten/kota dan provinsi tidak sama dan terkesan berjalan sendiri-sendiri, baik manyangkut struktur, nama organisasi kelembagaan, dan lainsebagainya. Menurut undang-undang memang ada kewenangan lintas kabupaten/kota, tetapi kenyataannya itu hanyalah dalam tataran konsep, praktiknya tidak berjalan.
Sebagai gejala umum, jenjang dan jenis kelembagaan pendidikan dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga tampak satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Kelembagaan pendidikan tinggi misalnya seolah-olah tidak berkaitan dengan kelembagaan menengah.
Disamping itu juga memiliki sisi kelemehan, antara lain:
1)      Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan dan kesiapan daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut.
2)      Tidak meratanya kemampuan keuangan daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD) dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahn ya masing-masing, terutama daerah-daerah miskin.
3)      Belum adanya pengalaman dari masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembangunan pendidikan di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan bagi sekolah dan orang tua akan memperbanyak sumber pendanaan dan memperbesar akses terhadap informasi yang pada gilirannya akan dapat melahirkan beragam metode, kreteria, pilihan-pilihan dan juga hasil. Secara perlahan-lahan, keragaman ini akan menimbulkan ketidaksetaraan sekolah antar daerah
Dengan demikian dalam konteks desentralisasi, peran masyarakat sangat diperlukan, terutama aparatur pendidikan baik di pusat maupun di daerah untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional. Karena titik berat disentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota, untuk itu peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah sangatlah mendasar, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang akan memebrikan pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pendidikan.
Meskipun desentralisasi pendidikan merupakan sebuah keharusan, namun dalam realitas, pelaksanaanya terkesan suatu tindakan agak tergesa-gesa dan tidak siap. Hal ini bisa dilihat dari belum memadainya sumber daya manusia (SDM) daerah, sarana prasarana yang kurang memadai, menajemen pendidikan yang belum optimal, di samping itu juga masih banyak permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan di daerah.
Di antara persoalan yang dihadapi pendidikan di daerah sekarang adalah menyangkut mutu lulusan yang masih rendah, kondisi fisik sekolah yang memprihatinkan, kekurangan guru dan kualifikasinya yang tidak sesuai, ketidakmerataan penyelenggaraan pendidikan, kurikulum dan lain-lain. Merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.
Apabila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan “centrum”, yang berartipusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa:
“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI”. Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan.
Menurut Bray dan Fiske Desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan.
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004). Tentang desentralisasi ini ada beberapa konsep yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut.
1)      Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, judikatif, atau administratif (Encyclopedia of the Social Sciences, 1980).
2)      Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi, di mana sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan (Soejito, 1990).
3)      Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang dari pernerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi (Mardiasmo, 2002).
4)      Desentralisasi adalah sehagai pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umurn yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil lceputusan pengaturan pernerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu (Hoogerwerf, 1978).
5)      Decentralization is the transfer of planning, decision inaking, or ndnlinistrative authority from the central government to its field organizations, local and administrative units, setni autonomous and pcrastatal organizations, local government, or nongoverrirnental ornanizatioais (Rondinelli clan Chcema, 1983: 77).
6)      Pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses desentralisasi unisan-urusan pemerintahan yang semula termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat sebagian diserahkan kepada pernerintah daerah agar menjacli urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada clan menjadi wewenang clan tanggung jawab pernerintah daerah (Koswara, 1996).
7)      Desentralisasi atau mendesentralisasi pemerintahan bisa berarti merestrukturisasi atau mengatur kembali kekuasaan sehingga terdapat suatu sistem tanggung jawab bersama antara institusi-institusi pemerintah tingkat pusat, regional, maupun lokal sesuai dengan prinsip subsidiaritas. Sehingga meningkatkan kualitas keefektifan yang menyeluruh dari sistem pemerintahan, dan juga meningkatkan otoritas dan kapasitas tingkat subnasional (UNDP, 2004: 5).
Dari beberapa konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi merupakan adanya penyerahan wewenang urusan-urusan yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusanurusan tersebut.
Secara politis, desentralisasi dalam pengertian devolusi dilakukan untuk memenuhi tuntutan golongan minoritas yang menuntut otonomi dalarn vvilayahnya. Semakin tinggi praktikpraktilc diskriminasi, akan semakin kuat menciptakan tuntutan akan otonomi.
Menurut Rondinelli (1984), desentralisasi secara luas diharapkan untuk mengurangi kepadatan beban kerja di pernerintah pusat. Sementara itu, di lain pihak Maddick (1963) mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah clan incmperoleh informasi yang lebih baik mengenai keadaan daerah, untuk menyusun program-program daerah secara lebih responsif dan untuk mengantisipasi secara cepat manakala prrsoalan-persoalan timbul dalam pelaksanaan.
Desentralisasi juga dapat dipakai sebagai alat untuk mcmobilisasi dukungan terhadap kebijakan pembangunan nasional dengan menginformasikannya kepada masyarakat (Lurah untuk menggalang partisipasi di dalam perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya di daerah. Partisipasi lokal dLipat digalang melalui keterlibatan dari berbagai kepentingan sepcrti kepentingan-kepentingan politik, agama, suku, kelompok-kelompok profesi di dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan oleh pemerintah daerah (Oentarto, et.al., 2004: 20).
Bagaimanapun, secara politis keberadaan pemerintah daerah sangat penting untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan daerah. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 7 ayat (1) dikemukakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam scluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, fiskal/moneter, dan agama, serta kewenangan lain yang diatur secara khusus. Selain itu, semuanya menjadi kewenangan daerah, termasuk salah satunya bidang pendidikan. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi clan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Kewenangan pengelolaan pendidikan berubah dari system sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kcpada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar