Senin, 02 Juni 2014

KEBAKARAN YANG TIDAK TERKENDALI


KEBAKARAN YANG TIDAK TERKENDALI

Permasalahan : Kebakaran yang tidak terkendali merusak sumber daya alam kita
Setiap tahun, kebakaran yang tidak terkendali menyebabkan berbagai dampak negatif, antara lain:
Kerusakan hutan,
Kebakaran semak belukar yang menghambat pertumbuhan hutan kembali,
Kerusakan perkebunan baik milik perusahaan maupun petani (misalnya kebun kelapa sawit, kebunkaret, Hutan Tanaman Industri, dsb),
Gangguan kesehatan dan transportasi yang diakibatkan oleh asap dan kabut,

Pandangan kurang baik terhadap Indonesia di luar negeri, terutama di negara tetangga.Dalam tahun-tahun dengan curah hujan rata-rata, skala dari kerusakan tersebut terbatas. Tetapi ketikaterjadi musim kemarau yang panjang, setiap 3 sampai 5 tahun, kerusakan hutan dan lahan di Indonesiadapat mencapai beberapa juta hektar dengan kerugian mencapai jutaan dolar. Di Sumatera Selatansendiri pada tahun 1997 diperkirakan sekitar satu juta hektar lahan terbakar.Proyek Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan, yang didanai oleh Uni Eropa dan DepartemenKehutanan, telah berjalan selama enam tahun (1995-2001) di Sumatera Selatan. Berbagai pengetahuantelah dipelajari dari proyek ini dan juga dari usaha yang sama di tingkat nasional maupun internasional.
Pelajaran I : Pencegahan Lebih Penting dari Pemadaman
Pelajaran pertama yang dipelajari adalah bahwa pemadaman kebakaran sangat sulit karena luasnya arealyang terbakar dan lokasinya sulit dijangkau. Oleh karena itu
pencegahan kebakaran
adalah langkahutama yang harus ditempuh, dengan menunjukan pada sebab-sebab akar dari kebakaran itu sendiri.
Pelajaran II : Kebakaran paling banyak terjadi di daerah gambut dan perkebunan
Pelajaran kedua adalah bukan hanya hutan yang terbakar akan tetapi kebakaran terjadi juga diluar hutan(walaupun daerah tersebut termasuk dalam kawasan hutan) seperti alang-alang, belukar, perkebunan,padang rumput di rawa gambut, dan sebagainya.Berdasarkan pengamatan peta titik panas, kebakaran yang tidak terkendali dalam skala besar terutamaterjadi di dua tipe daerah yaitu :
ØØØØØØ 
Areal penanaman:
seperti perkebunan rakyat, perkebunan besar terutama kelapa sawit atau HutanTanaman Industri/HTI. Penggunaan api untuk pembersihan lahan dapat berakibat kebakaran;
ØØØØØØ 
Daerah rawa gambut
: dimana api yang menyala di bawah tanah sangat sulit untuk dikendalikan.Oleh karena itu, maka lokakarya ini difokuskan pada Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan KomeringIlir, dimana keduanya mewakili daerah yang paling rawan terhadap kasus kebakaran tersebut.
Pelajaran III : Belajar bagaimana cara mengelola kebakaran
Tidak semua pembakaran itu buruk. Pembakaran merupakan bagian dari kegiatan masyarakat dalampengelolaan lahan sehari-hari di Sumatera sejak dahulu. Secara tradisional masyarakat menggunakanapi untuk pembersihan lahan dan mereka tahu bagaimana cara mengendalikan api. Sampai sekarang,sangat sulit untuk menemukan alternatif lain, dan kita harus belajar menggunakan api dengan bijaksana.Ini berarti kita harus dapat membedakan api yang merusak dan api yang bermanfaat. Berdasarkan itu,kita harus memusatkan usaha-usaha untuk menghindari api yang merusak melalui pencegahan,pengenalan dan penanggulangan dini. Hal inilah yang disebut dengan
Pengelolaan Kebakaran.

Pelajaran IV : Banyak pihak yang berurusan dengan kebakaran
Oleh karena bukan hanya hutan yang terbakar, maka banyak pihak yang berurusan dengan pengelolaankebakaran, yaitu :
ØØØØØØ 
Pihak yang menjadi korban kebakaran secara langsung maupun tak langsung.
ØØØØØØ 
Pihak yang dapat berperan untuk mencegah kebakaran yang merusak.Berdasarkan hasil penemuan awal, pihak-pihak yang berurusan di Propinsi Sumatera Selatan yaitu :
ØØØØØØ 
Masyarakat setempat yang diwakili oleh pemimpin formal maupun adat atau organisasi mereka.
ØØØØØØ 
Perusahaan swasta yang terlibat dalam pemanfaatan lahan dan sumber daya alam.
ØØØØØØ 
Lembaga swadaya masyarakat dibidang lingkungan maupun pengembangan pedesaan.
ØØØØØØ 
Instansi pemerintah yang terkait di tingkat propinsi dan kabupaten .
ØØØØØØ 
Para ahli dari perguruan tinggi, atau lembaga teknik/pusat penelitian.
Untuk apa lokakarya diadakan ?
Tujuan akhir dari lokakarya ini adalah untuk menemukan langkah yang dapat diterapkan. Maksudutamanya adalah untuk mengajak semua pihak yang terkait bersama-sama membahas hal-hal sebagaiberikut:
ØØØØØØ 
Saling tukar menukar pandangan terhadap masalah kebakaran (sebab dan dampaknya).
ØØØØØØ 
Mencapai pengertian yang sama terhadap masalah kebakaran.
ØØØØØØ 
Menemukan cara mencegah kebakaran yang merusak dan kendala yang ditimbulkan.
ØØØØØØ 
Menemukan tindakan yang mungkin dapat dilaksanakan bersama oleh anggota lokakarya.
Bagaimana Lokakarya ini diadakan
Lokakarya akan dilaksanakan selama dua hari. Bertempat di Museum Balaputra Dewa yang mewakilibudaya Sumatera Selatan. Lokakarya ini akan dipimpin oleh Panitia Pengarah yang diketuai olehSekretaris Daerah Propinsi Sumatera Selatan dan Ketua Dinas Kehutanan.Hari pertama, pimpinan instansi dan FFPCP akan membuka lokakarya dengan menyampaikan pesanmereka tentang pengelolaan partisipatif kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan. Kemudian paraahli dan wakil pihak yang terkait masing-masing akan menyampaikan pengalaman mereka.Hari kedua, peserta akan berdiskusi dalam kelompok guna membahas pengalaman, mencapaikesepakatan, kesepahaman serta membuat usulan bagaimana cara mengatasi masalah di lapangantentang pencegahan kebakaran. Hasilnya akan didiskusikan dalam sidang pleno untuk mencapaikesimpulan akhir yang akan disampaikan oleh panitia pengarah. Lokakarya ini akan ditutup secararesmi dan disertai dengan acara peluncuran buku Pendidikan Lingkungan Hidup "Desa Ilalang"











Berdasarkan hasil diskusi selama dua hari ini, tim perumus mengusulkan hasil sbb:
A. Dampak Kebakaran Lahan dan Hutan
setiap tahun ada kebakaran lahan dan hutan di Propinsi Sumatera Selatan, namun yang paling besaradalah pada musim kemarau panjang yang terjadi setiap 3-5 tahun antar bulan Juli dan Oktober
Dampak negatif kebakaran lahan dan hutan secara umum adalah hilang dan menurunnyabiodiversitas, kerusakkan tanah, hutan dan kebun, dan pencemaran udara akibat asap
Kebakaran telah merugikan berbagai pihak, terutama masyarakat di tingkat Sumatera Selatan,Indonesia, maupun Internasional, serta perusahaan swasta dan pemerintah
Oleh karena itu telah disepakati bahwa kebakaran lahan dan hutan merupakan masalah kitasemuaB. Sebab Kebakaran Lahan dan Hutan
Sebab utama dari kebakaran adalah pembukaan lahan yang meliputi:- pembakaran lahan yang tidak terkendali sehingga merembet ke lahan lain- pembukaan lahan tersebut dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun perusahaan. Namunbila pembukaan lahan dilaksanakan dengan pembakaran dalam sekala besar, kebakarantersebut sulit terkendali.- pembukaan lahan dilaksanakan untuk usaha perkebunan, HTI, pertanian lahan kering, sonordan mencari ikan.- pembukaan lahan yang paling berbahaya adalah di daerah rawa/gambut.
Sebab lain, yang meliputi akar permasalahanya, adalah :- penggunaan lahan yang menjadikan lahan rawan kebakaran, misalnya di lahan bekas HPH,di daerah yang beralang-alang dan di daerah HTI- konflik antara pihak pemerintah, perusahaan dan masyarakat karena status lahan sengketa- tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, sehingga terpaksa memilih alternatif yang mudah, murah dan cepat untuk pembukaan lahan- kurangnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar peraturan pembukaanlahan tanpa bakar
B. Usulan
1. Untuk sementara pembukaan lahan dengan pembakaran masih dibutuhkan untuk menunjang ekonomidi Sumatera Selatan, terutama oleh rakyat, maka yang diperlukan adalah upaya pengelolaan pembakaranyang dilaksanakan secara terkendali dan bertanggung-jawab.2. Upaya pencegahan kebakaran lahan dan hutan yang diusulkan diantaranya:
pemberdayaan masyarakat lewat lembaganya
penegakkan hukum

mengembangkan usahatani terpadu yang meggunakan teknologi pembakaran secara terkendali dantanpa asap, seperti yang telah dikembangkan oleh masyarakat Sumatera Selatan sejak dahulu
upaya penyuluhan dan sosialisasi mengenai bahaya kebakaran baik melalui media elektronik, cetak,pendekatan langsung ataupun rambu-rambu
diperlukan bantuan peralatan pemadaman ringan dan sederhana yang dapat digunakan olehmasyarakat desa
diperlukan mengembangkan upaya sertifikasi untuk perusahaan yang tidak menggukananpembakaran, seperti eko-labelling
perlu diteliti alternatif lain (pajak lingkungan) untuk pencegahan pembukaan lahan dengan sistembakar oleh perusahaan perkebunan besar/HTI

Penyebab Awal Kebakaran hutan dan lahan
:1. Tata Guna Lahan, permasalahannya :a) Adanya konflik kepentingan antara masyarakat dan dunia usaha sehingga menyebabkankerusakan.b) Land Clearing atau pembukaan lahan menyebabkan timbulnya semak yang rentan terhadapkebakaran.2. Pembuatan saluran irigasi di rawa sehingga permukaan air menurun menyebabkan lahan gambutsemakin kering.3. Adanya logging menyebabkan lahan terbuka menimbulkan semak sehingga rentan terhadapkebakaran.4. Pembukaan lahan untuk budidaya pertanian dengan sistem sonor dengan melakukan pembakaranyang sulit diawasi memungkinkan api menjalar di luar kontrol.
Kebijakan dan Strategi Pemerintah
1. Mengadakan koordinasi vertikal dan horisontal.2. Anjuran untuk menghormati kearifan dan kelembagaan adat karena masyarakat memiliki kearifandalam membuka lahan dan adanya pengawasan dari lembaga adat.3. Dilaksanakan pengawasan dalam pembukaan lahan untuk budidaya pertanian dengan sistem sonor.

Dijelaskannya, ada sanksi hukum yang dapat diterapkan kepada mereka yang membakar hutan atau lahan. Sanksi-sanksi itu di antaranya UU Nomor 41/1999 tentang kehutanan, UU Nomor 23/1997 tentang lingkungan hidup dan UU Nomor 18/2004 tentang perkebunan. Di mana ancaman hukumannya mulai dari penjara hingga denda. “Bagi yang tidak mengindahkan, akan kita ambil tindakan tegas, mengacu pada aturan yang ada,” tegasnya.
Kebakaran hutan akan terjadi dari dua kejadian :1. TerbakarBisa terjadi karena pada waktu tiga bulan yaitu bulan Juli, agustus dan September ini, semua ranting-ranting atau daun-daun serta belukar dan semak-semak mati dalam keadaan kering (pada musim el-nino) dan hal ini bisa menyebabkan semua itu terbakar akibat dari panas yang berkepanjangan, jugadapat disebabkan oleh unsur yang tidak disengaja, misalnya dari api roko yang dibuang sembarangan dihutan atau dari percikan api bekas bakaran yang terbang.2. DibakarPermbakaran yang dilakukan dengan unsur kesengajaan untuk tujuan tertentu, seperti yang dilakukanoleh petani untuk membuka ladang yang sudah menjadi kearifan setiap kali membuka hutan untuk perladangan baru, tetapi walaupun dengan cara membakar para petani tetap waspada dan teliti dalammelakukan pembakaran ladang.Cara-cara yang dilakukan oleh petani dalam melakuan pembakaran lahan untuk membuat ladang :


Proceedings, Land and Forest Fire Workshop South Sumatra, Oct 2001, FFPCP
 36
1. Membuat petak dengan menebas rumput-rumput atau kayu-kayu kecil.2. Menebang kayu-kayu besar.3. Hasil tebasan dan tebangan dikeringkan selama 15 hari sampai 1 bulan apabila dipandang sudahkering baru mulai melakukan pembakaran.4. sebelum melakuka pembakaran dilakukan pengekasan terlebih dahulu dengan ukuran 3-4 mkeliling lahan yang akan dibakar dan disapu dengan bersih supaya api tidak menyeberang kelahan orang lain atau sekelilingnya.5. Mengundang tetangganya yang terdekat terutama petani yang mempunyai lahan di sekelilinglahan yang dibakar. Apabila salah satu yang punya atau kebun disekeliling lahan tidak hadir,batal sementara sebelum hadir bersama. Apabila semua tetangga yang punya lahan di sekitarlahan yang akan dibakar sudah hadir semua dan siap untuk bertanggung jawab untuk menjagaapi barulah pembakaran bisa dilakukan.Pembakaran dilakukan pada waktu yang sudah ditentukan berdasarkan kemufakatan apabila api sudahpadam dan bekas bakaran sudah menjadi abu, masyarakat kumpul kembali sambil mengontrol kelilingberama dan apabila tidak ada lagi kemungkinan api yang masih tersisa maka dengan sangat gembiramasyarakat bersama-sama mengucapka “selamat” itulah cara-cara yang dilakukan petani dalammembuat ladang, beberapa hari kemudaian dilakukan penanaman padi yang disertai dengan menanamtanaman lainnya.Alasan mengapa petani masih melakukan pembakaran setiap membuat ladang :1. Dapat meningkatkan kesuburan tanah.2. Mengurangi hama (semut) bagi tanaman muda (sayuran).3. Mengusir binatang buas yang ada di sekitar lahan.4. Mempermudah persiapan kayu untuk pagar, yang diambil dari sisa pembakaran.Marilah kiata mencoba bertukar pendapat untuk mencari akar persoalan kebakaran hutan ini denganmengintrospeksi diri sendiri atau mencari kesalahan orang lain, sebagai contoh. Jika kesalahan ini lahirdari masyarakat petani lokal jawabnya sulit kita menyalahkan karena lokalpun punya tata caratersendiri dan hukum yang telah membudaya.Pertanggung jawaban kebakaran hutan apakah mungkin hanya menjadi tanggung jawab pemerintahterutama Departemen Kehutanan atau semua itu merupakan tanggung jawab kita semua sebagai warga.Kelemahan dalam mengatasi kebakaran hutan selama ini karena petani dalam mencegah kebakaranhutan selama ini belum diakui, padahal petani ikut menjaga hutan dari segala kemungkinan yang dapatmenimbulkan kerusakan hutan
Apa arti kata migitasi?
yang bener Mitigasi, artinya adalah pencegahan/penghentian. Sebelum bencana itu terjadi kita bisa mencegahnya/menghentikannya, semacam preventif lahhh
·         5 tahun lalu

FUNGSI PENGAWASAN DPRD TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH






FUNGSI PENGAWASAN DPRD TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH TENTANG ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH



KARANGAN ILMIAH







Dadang Djoko Karyanto
NIM: 014055066







UNIVERSITAS TERBUKA
2013





DAFTAR ISI
         Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………………...             i
DAFTAR ISI……………………………………………………………....            ii
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..            iii

I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah…………………………………….              1
B.     Perumusan Masalah…………………………………………             10
II. PEMBAHASAN
A.      Pengaturan Fungsi Pengawasan DPRD Terhadap
Pelaksanaan Perda APBD......................................................             11
B.       Implementasi Fungsi Pengawasan DPRD Terhadap
Perda APBD...................................................................          14
III. PENUTUP
A.   Kesimpulan…………………………………………………..           17
B.   Saran…………………………………………………………          18

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
          Dalam mewujudkan pelaksanaan pemerintahan daerah tentunya harus diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan daerah adalah lembaga pemerintahan daerah dalam hal ini pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan, artinya bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah tersebut memiliki kedudukan yang sama atau sejajar dan tidak saling membawahi.
Adapun tujuan dibentuknya Undang-Undang pemerintahan daerah ini adalah agar daerah dapat secara mandiri menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dalam system dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonessia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (1) Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kebupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pasal 18 ayat (2) pemernitahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka:
(2)     Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
(3)     Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
(4)     Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
(10)   Peaturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.
(14)   Anggaran pendapatan dan belanja daerah selanjutnya disebut APBD, adalah rencana tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

Dari ketentuan Pasal tersebut diatas pemerintahan daerah terdiri dari pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah serta DPRD menurut asas otonomi  dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 120 ayat  (1) dan (2) menyatakan bahwa:
(1) Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.
(2) Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
Pemerintah daerah dikenal dengan adanya perangkat daerah dimana perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah,  sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis. Sedangkan untuk daerah kabupaten/kota perangkat daerahnya terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Dimana setiap perangkat daerah tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan atau pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang tentunya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa DPRD merupakan lembaga  perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya dalam Pasal 41 DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi DPRD dipertegas dalam Pasal 42 ayat (1) mengenai tugas dan wewenang menegaskan bahwa:
a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama; 
b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah; 
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;

Dari ketentuan Pasal 41 dan 42 Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tersebut diatas, DPRD mempunyai fungsi salah satunya adalah pengawasan. Dalam hal pengawasan, DPRD melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah.
Kegiatan pengawasan bukanlah tujuan dari suatu kegiatan pemerintah, akan tetapi sebagai salah satu sarana untuk menjamin tercapainya tujuan pelaksanaan suatu perbuatan atau kegiatan. Dalam hukum tata negara dan hukum pemerintahan berarti untuk menjamin segala sikap tindak lembaga-lembaga kenegaraan dan lembaga-lembaga pemerintahan (Badan dan Pejabat Tata usaha Negara) berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.    
Perbuatan tercela yang dilakukan oleh aparat pemerintah tendensinya akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang terkena perbuatan tersebut. Demi keadilan perbuatan yang demikian ini pasti tidak dikehendaki adanya. Menyadari hal ini, Negara selalu akan berusaha untuk mengendalikan aparatnya jangan sampai melakukan perbuatan yang tercela ini. Sehubungan dengan ini, diadakanlah suatu sistem pengawasan (control system) terhadap perbuatan aparat pemerintahan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya perbuatan yang merugikan masyarakat, setidaknya menekan seminimal mungkin terjadinya perbuatan tersebut. [1]
   Mengenai Angaran Pendapatan dan Belanja Derah diatur di dalam  Pasal  179 Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu)  tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Di dalam Pasal  181 ayat (1) Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama. Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD terdapat pada Pasal 184 ayat (1) Kepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggung jawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
 Dalam menjalankan Perda, kepala daerah membuat peraturan kepala daerah terdapat dalam Pasa1  190 berbunyi Peraturan  kepala daerah tentang Penjabaran APBD dan peraturan kepala daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD dijadikan dasar penetapan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah. dipertegas di dalam Pasa1 146 ayat (1) Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundangundangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah. Dan ayat (2) Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala  daerah  sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga perwakilan daerah untuk  mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenang lembaga, serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif, serta meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja.
Menurut Irfan Fachrudin:
Pelaksanaan pengawasan terhadap pemerintah, dapat ditentukan oleh beberapa teori konsekuensi pengawasan yang berpeluang dapat menjelaskan penyebab keberhasilan dan kegagalan atau efektivitas  suatu sistem pengawasan. Pertama; teori kekuatan yuridis. Kedua; teori tipe pengawasan. Dikenal dua tipe pengawasan yang paling menonjol, (a) pengawasan represif, oleh A. Dunsire diartikan sebagai pengawasan yang menggunakan cara memaksa dan mengancam dengan sanksi untuk mencapai tujuannya; dan (b) pengawasan normatif, pengawasan ini oleh A. Etzioni dimaksudkan sebagai pengawasan yang menggunakan cara sinkronisasi pemahaman nilai-nilai dan tujuan. Ketiga; teori otoritas pengawasan, yang mencakup: (a) keabsahan (legitimiteit), pengawasan dilakukan oleh badan yang diakui berwenang; (b) pengawasan dilakukan oleh suatu keahlian (deskundigheid), (c) pengawasan yang mendapat kepercayaan (geloof), dan (d) kesadaran hukum (rechsbewustzijn). Keempat; teori komunikasi, yaitu proses penyampaian dan penerimaan pesan atau lambing-lambang yang mengandung arti tertentu. Kelima; teori publisitas, yaitu mempublikasikan masalah kepada khalayak ramai yang dapat memberi  pengaruh kepada tekanan public akibat dari opini publik (public opinion) Keenam; teori arogansi kekuasaan.[2]
  
Fungsi pengawasan tidak hanya dilaksanakan oleh DPRD tetapi juga dilaksanakan oleh  pemerintah itu sendiri yaitu didalam Pasal 218 ayat (1) dan (2) Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi Pengawasan atas  penyelenggaraan   pemerintahan   daerah dilaksanakan  oleh Pemerintah yang meliput: a. Pengawasan atas pelaksanaan-urusan pemerintahan di daerah; b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala  daerah. Di dalam ayat (2) berbunyi Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) huruf  a dilaksanakan  oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai petaturan perundang-undangan.
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia pengawasan dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga diluar organ pemerintahan yang diawasi (pengawasan eksternal) dan dapat pula dilakukan oleh lembaga-lembaga dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri (pengawasan internal). Pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh lembaga-lembaga Negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan dibawahnya.  Pengawasan eksternal ini juga dilakukan oleh masyarakat, yang dapat dilakukan oleh orang perorangan, kelompok masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media massa (pers). Dalam pengawasan internal, pengawasan dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga yang dibuat khusus oleh pemerintah seperti Badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP), pengawasan yang dilakukan oleh  Inspektorat Jenderal Departemen, Badan Pengawas Daaerah (Bawasda). Pengawasan internal dalam lingkungan pemerintah juga dilakukan oleh atasan langsung pejabat/badan tata usaha Negara. Pengawasan ini sering juga dinamakan pengawasan melekat (Waskat).
Dilihat dari sifatnya, pengawasan pemerintah ada yang bersifat preventif dan yang bersifat represif. Pengawasan yang bersifat preventif adalah pengawasan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya perbuatan atau sikap tindak pemerintah yang melanggarhukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan pengawasan yang bersifat represif adalah pengawasan yang dilakukan untuk menindak perbuatan pemerintah yang sudah dilakukan dengan cara melanggar hukum. Pengawasan represif ini pada dasarnya adalah suatu tindakan penegakkan hukum.[3]
Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 1 angka:
1. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
2. Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disebut BPK, adalah Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggara Pemerintahan Daerah yaitu:

Pasal 43

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan fungsinya dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan urusan Pemerintahan Daerah di dalam wilayah kerjanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 1 angka:
5. Pengawasan DPRD adalah pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi/kabupaten/kota.
9. Fungsi Pengawasan DPRD adalah pengawasan terhadap Pemerintah Daerah yang bersifat pengawasan kebijakan dan bukan pengawasan teknis.

Di dalam  Pasal 298 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menegaskan bahwa:
(1)   DPRD provinsi mempunyai hak:
a.  interpelasi;
b.  angket; dan
c.  menyatakan pendapat.
(3)   Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Mekanisme pengaturan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan Perda APBD tidak hanya dilakukan oleh DPRD tetapi fungsi pengawasan tersebut juga dilakukan oleh pemerintah itu sendiri yaitu didalam Pasal 218 ayat (1) dan (2) Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi Pengawasan atas  penyelenggaraan   pemerintahan   daerah dilaksanakan  oleh Pemerintah yang meliputi: a. Pengawasan atas pelaksanaan-urusan pemerintahan di daerah; b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala  daerah. Di dalam ayat (2) berbunyi Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) huruf  a dilaksanakan  oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai petaturan perundang-undangan.
Fungsi pengawasan DPRD seharusnya memberikan suatu tujuan tercapainya pemerintahan yang baik dan berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Kepala daerah untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundangundangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah. DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasannya jika ada suatu peraturan kepala daerah yang bertentangan dengan Perda, DPRD tidak mempunyai kewenangan untuk mencabut atau membatalkan peraturan kepala daerah tersebut. dengan kata lain fungsi pengawasan tidak didukung dengan tindakan penegakan hukum. Seharusnya fungsi pengawasan DPRD juga harus bersifat pengawasan represif, sebagai pengawasan yang menggunakan cara memaksa dan mengancam dengan sanksi untuk mencapai tujuannya.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.             Bagaimana pengaturan fungsi pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan Perda APBD?
2.             Bagaimana Implementasi fungsi pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerah dalam pelaksanaan Perda APBD?






II. PEMBAHASAN
A. Pengaturan fungsi pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan Perda APBD
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka:
(2)     Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
(3)     Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
(4)     Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
(10)   Peaturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.
(14)   Anggaran pendapatan dan belanja daerah selanjutnya disebut APBD, adalah rencana tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

Di dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa DPRD merupakan lembaga  perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya dalam Pasal 41 DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi DPRD dipertegas dalam Pasal 42 ayat (1) mengenai tugas dan wewenang menegaskan bahwa:
a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama; 
b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah; 
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;

Dari ketentuan Pasal 41 dan 42 Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tersebut diatas, DPRD mempunyai fungsi salah satunya adalah pengawasan. Dalam hal pengawasan, DPRD melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah.
Di dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggara Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan fungsinya dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan urusan Pemerintahan Daerah di dalam wilayah kerjanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 1 angka:
5. Pengawasan DPRD adalah pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi/kabupaten/kota.
9. Fungsi Pengawasan DPRD adalah pengawasan terhadap Pemerintah Daerah yang bersifat pengawasan kebijakan dan bukan pengawasan teknis.
Pasal 292 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menegaskan bahwa:
(1)   DPRD provinsi mempunyai fungsi:
       a. legislasi;
       b. anggaran; dan
       c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi.
Di dalam  Pasal 298 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menegaskan bahwa:
(1)   DPRD provinsi mempunyai hak:
a.  interpelasi;
b.  angket; dan
c.  menyatakan pendapat.
(3)   Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 293 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menegaskan bahwa:
(1)   DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang:
       a. membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur;
b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi;


B. Implementasi fungsi pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan Perda APBD
Pengawasan merupakan tugas dan wewenang DPRD yang bersifat politisi (terhadap kebijakan) dan bukan merupakan pemeriksaan, sedangkan pemeriksaan merupakan fungsi dan tugas aparat pengawasan fungsional pemerintah.[4] Dalam pengawasan pengelolaan keuangan daerah DPRD memiliki kendala dan keterbatasan sumber daya manusia yang ahli dalam hal itu, kondisi itu menjadi hal yang sangat memprihatinkan apabila dewan keliru dalam memberikan penilaan terhadap kinerja eksekutif apalagi menyangkut pengelolaan keuangan daerah yang sangat rentan terhadap penyelewengan. Badan pengawas keuangan dan pembangunan (BPKP) dan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) yang merupakan lembaga intern yang membantu DPRD dalam Pemeriksaan keuangan daerah. Peran kedua lembaga intern ini untuk mengantisipasi kelemahan ataupun kendala-kendala yang ada dalam pengawasan yang dilakukan oleh DPRD. Pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat hanya menekankan pada aspek pengawasan represif guna lebih memberi kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan, sehingga peran legeslatif daerah dalam melaksanakan fungsi pengawasannya terhadap pelaksanaan pemerintah daerah dapat berjalan dengan baik. Fungsi pengawasan dalam pemerintahan sangat diperlukan karena dengan adanya pengawasan akan terciptanya suatu usaha untuk menjamin keserasian dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan antara pusat dan daerah selain itu juga untuk menjamin pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap APBD, DPRD dapat melakukan pengawasan preventif yaitu ketika penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan Daerah (RAPBD) dan pengawasan represif yaitu ketika pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah prosedur pengelolaan keuangan daerah ditetapkan kepala daerah sesuai Perda dan kepala daerah mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah kepada dewan.
Partisipasi masyarakat tersebut dapat dilihat pada saat Perumusan APBD yakni melalui perwakilan tokoh-tokoh masyarakat atau ketua ormas maupun LSM lainya dan partisipasi pada saat Proses penganggaran yakni melalui system hearing dimana DPRD lebih pro aktif untuk mengundang publik bila ada proyekproyek yang akan dibangun. APBD adalah dokumen publik artinya publik dalam hal ini masyarakat berhak mempengaruhinya melalui DPRD, meski tidak terlibat dalam Tim Teknis Anggaran. Pengaruh publik tersebut tidak saja membuat pemerintah dan DPRD bisa memperoleh masukan dari masyarakat, namun merupakan bentuk keseriusan dari pemerintah dan DPRD dalam melaksankan akuntabilitas publik, transparansi anggaran sekaligus menjadi suatu uji publik. Bentuk konsultasi yang dilakukan publik terhadap draft perencanaan dan pemanfaatan APBD bukan untuk mewujudkan penyetujuaan melainkan lebih mengarah dan mempengaruhi pada keputusan pengambil kebijakan. Sistem pengawasan sangat menentukan kemandiriaan satuan otonomi. Agar tidak melemahkan otonomi maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik, baik lingkup maupun tata cara pelaksanaannya.





















III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Paradigma pengawasan politik telah mengakibatkan fungsi pengawasan yang sesungguhnya terabaikan, sehingga hasil pengawasan kurang memberikan manfaat bagi pengelolaan pemerintahan daerah. Pengawasan yang dilakukan, belum memberikan umpan balik (feed back) yang substansial bagi pengelolaan pemerintahan daerah, Pengawasan belum mampu untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan  melakukan koreksi perbaikan. Saluran melalui para wakilnya tidak mampu masuk dan menembus gedung parlemen. Sementara keberanian masyarakat untuk langsung menyarakan haknya ke pemerintahan masih belum muncul karena takut atau apatis. Hak masyarakat untuk mengawasi belum sepenuhnya diberikan atau dijamin oleh negara, sementara DPRD sebagai wakil rakyat, belum optimal mengkoordinasikan serta menyalurkan hak-hak pengawasan  masyarakat.
Pengawasan DPRD terhadap pelaksanaan peraturan daerah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 42 huruf c Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 menyatakan bahwa: Tugas dan wewenang DPRD melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainya  peraturan Kepala Daerah, APBD, Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama Internasional di daerah. Tanpa dirinci lebih lanjut tentang batas kewenangan serta cara pengawasan. Akibatnya masing-masing DPRD menjabarkan fungsi pengawasan sesuai dengan apa yang diinginkanya. Adanya tumpang tindih terhadap kegiatan pengawasan siapa yang seharusnya disebut aparat pengawasan didaerah? adanya BPK ini dikenal sebagai pemeriksaan ekstren. Lalu ada pula yang dikenal dengan lembaga pemeriksaan intern yaitu BPKP dengan kewenangannya berdasarkan Kepres No.31 tahun 1983 yang masuk ke instansi pemerintah bahkan kebadan usaha milik negaradan daerah. Ada pula Inspektorat Jenderal pada Departemen dan Inspektorat Wilayah pada Pemerintah Daerah Propinsi dan Inspektorat Daerah untuk Kabupaten/Kota. Sedangkan menurut , Undang-Undang No32 tahun 2004 adanya Pengawasan legislatif. Jadi wajarlah instansi pemerintah banyak yang mengeluh karena terjadinya tumpang tindih.

B. Saran
Pengawasan dilaksanakan selama ini terkesan sporadis dan reaktif, tanpa program Pengawasan lebih banyak terfokus dan ”terjebak” pada aktivitas pemeriksaan yang berupa kunjungan kerja. Akibatnya, permasalahan masyarakat tak terselesaikan dan sering tak muncul jalan keluar menuju perbaikan yang diharapkan oleh masyarakat. Upaya tindak lanjut itu dapat efektif, jika monitoring terus dilakukan oleh DPRD secara berkelanjutan. DPRD juga dapat menggunakan hak angket dan interpelasinya dalam memantau dan mendorong tindak  lanjut hasil pengawasannya.
Dalam rangka penguatan peran DPRD di bidang pengawasan, sebaiknya DPRD secara institusional melakukan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan, konsepsional dan operasional tentang pengawasan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah. Guna memudahkan fungsi pengawasan yang bersifat kebijakan, sebaiknya DPRD memakai tenaga ahli yang memiliki kemampuan di masing-masing bidang yang bertugas melakukan pengkajian guna memberikan input. Tenaga ahli ini dapat diambil dari perguruan tinggi yang memang ahli dibidangnya Dengan menggunakan hasil kajian itu diharapkan DPRD tidak salah dalam mengambil kebijakan.


















Daftar Pustaka
Arief Sidaharta, Bernard. 1999. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju: Bandung.

Asmara, Galang. 2005. Ombudsman Nasional dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Laksbang Pressindo: Yogyakarta.

Djumhana, Muhamad. 2007. Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan Himpunan peraturan Perundang-undangan di Bidang Keungan Daerah, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Fachrudin, Irfan. 2004. Pengawasan Peradilan Adminstrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, P.T Alumni: Bandung.

Mahmud Marzuki, Peter. 2010. Metode Penelitian Hukum, Kencana: Jakarta.

Muchsan. 2007. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty: Yogyakarta.



[1] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal.36.
   [2] Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Adminstrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, P.T Alumni, Bandung, 2004, hal. 16.
[3] Galang Asmara, Ombudsman Nasional dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2005, hal.125-126.
[4] Muhamad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan Himpunan peraturan Perundang-undangan di Bidang Keungan Daerah, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 45.
Daftar Pustaka

Arief Sidaharta, Bernard. 1999. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju: Bandung.

Asmara, Galang. 2005. Ombudsman Nasional dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Laksbang Pressindo: Yogyakarta.

Djumhana, Muhamad. 2007. Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan Himpunan peraturan Perundang-undangan di Bidang Keungan Daerah, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Fachrudin, Irfan. 2004. Pengawasan Peradilan Adminstrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, P.T Alumni: Bandung.

Mahmud Marzuki, Peter. 2010. Metode Penelitian Hukum, Kencana: Jakarta.

Muchsan. 2007. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty: Yogyakarta.

Pemilihan topik:
Untuk memilih dan menemukan  topik, bisa dilakukan dengan  mempertimbangkan hal berikut:
1. pengalaman pribadi dan kehidupan sehari-hari
2. media massa
3. kebutuhan memecahkan masalah


Pembuatan latar belakang permasalahan
 Latar belakang masalah  menyajikan gambaran yang dapat menjelaskan mengapa  kita melakukan peneltian atau mengupas tentang suatu fenomena.  Biasanya diuraikan dalam bentuk deduksi, yaitu dimulai dengan hal yang umum  dan diakhiri dengan pembatasan masalah. Sda dua model yang dapat digunakan  di dalam  membuat latar belakang masalah, yaitu :
1. menguraikan adanya kesenjangan antara kondisi nyata  dengan kondisi  ideal; Contoh: jika ingin menggambarkan  tentang kondisi kartu sehat di Indonesia, maka dapat digambarkan tentang kondisi nyata masyarakat miskin  di Indonesia yang semakin meningkat dan adanya ketimpangan pelayanan antara masyarakat miskin dan yang kaya ketika meminta pelayanan kesehatan. Uraian ini kemudian dibandingkan dengan norma atau aturan yang berlaku umum, yaitu hak warga negara  untuk memperoleh pelayanan kesehatan tanpa pandang bulu, serta kebijakan pemerintah di bidang kesehatan.

2. menggambarkan perkembangan teori atau suatu kondisi obbjektif tanpa membandingkannya dengan kondisi normatif.  Misalnya masih tentang kondisi kartu sehat di Indonesia, kita hanya mennggambarkan karakteristik suatu gejala secara lebih rinci. Misalnya jumlah orang miskin yang semakin meningkat, serta pelayanan yang  buruk  dalam bidang kesehatan, tanpa membandingkannya dengan norma atau aturan yang berlaku umum, yaitu hak warga negara  untuk memperoleh pelayanan kesehatan tanpa pandang bulu, serta kebijakan pemerintah di bidang kesehatan.



Pada bagian ini, kita dapat memberikan gambaran kondisi objektif dengan menggunakan alat bantu 5W dan 1H, yaitu:
What;  yaitu: apa yang sedang terjadi
 Who;  siapa yang mengalaminya
 When;  kapan terjadinya
 Where; dimana terjadinya
How:  Bagaimana terjadinya

Kelima alat bantu tersebut kita susun sebagai satu rangkaian  cerita yang tidak terpisah

Latar Belakang Masalah:

Dalam pengertian sehari-hari yang dimaksud dengan “masalah” adalah suatu hambatan yang dialami dan membutuhkan pemecahan dengan cara yang benar dan tepat. Beberapa orang juga mengatakan bahwa masalah merupakan kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dan kenyataan yang dihadapi.
 




       
     

Kita lihat contoh sederhana berikut ini.  Pada awalnya manusia merasa kesulitan untuk bisa menghitung angka hingga sejuta. Dan berdasar kesulitan yang dihadapi, manusia mulai menciptakan alat untuk membantu menghitung. Lahirlah sebuah alat yang disebut kalkulator. Seiring kemajuan jaman, dan semakin besarnya nilai nominal uang, maka kemampuan kalkulator tidak lagi bisa membantu manusia ketika jumlah yang dihitung mencapai milyaran atau bahkan triliunan. Dari kesulitan itulah akhirnya manusia mencipatakan alat yang lebih canggih yaitu komputer. Sekali lagi masalah yang dihadapi manusia pada akhirnya membawa kemajuan bagi manusia dengan diciptakannya alat yang kita kenal dengan komputer. Dengan demikian “masalah” bagi manusia tidak akan pernah berakhir, namun dengan adanya “masalah” tersebut maka manusia juga akan selalu berkembang.

Perumusan Masalah:
Pada dasarnya, perumusan masalah  merupakan penggambaran yang tidak terpisahkan dari paparan yang ada  pada latar belakang permasalahan.  Dalam bagian ini permasalahan sudah lebih terfokus.  Biasanya pada bagian akhir  dimunculkan dalam bentuk kalimat tanya. Contoh tentang kartu sehat tadi, di bagian ini digambarkan  tentang keluhan  masyarakat ketika mereka memanfaatkan kartu sehat. Bagian ini diakhiri dengan pertanyaan “bagaimana pemanfaatan kartu sehat  di puskesmas A?

Kajian pustaka
Kajian pustaka merupakan proses  kajian terhadap teori atau hasil studi terdahulu. Topiknya difokuskan pada  konsep utama yang kita gunakan. Kembali ke contoh kartu sehat, maka fokus kajian pustaka pada teori atau  hasil terdahulu  tentang  kebijakan  di bidang kesehatan dan pelayanan puskesmas.
Hasil dari kajian ini adalah formulasi dari konsep yang digunakan, dan teori apa yang tepat digunakan untuk menganalis fenomena yang kita angkat. Teori dan konsep utama inilah yang nantinya menjadi landasan berpikir kita dalam menganalisa permasalahan kita.